Aku menyerahkan HPku. Seorang perempuan yang duduk persis di depanku menerimanya. Pesanan tiga ekor ikan bakar plus kepala ikan, bakar juga, belum terhidang. Masih dikipas di atas bara arang di ujung tenda terbuka sana. Bersama lelaki di sampingnya, perempuan itu mengamati gambar foto di layarnya.

Memandangku, kemudian balik lagi ke layar HP. Tidak hanya sekali, beberapa kali. Hanya ada 6 sosok di foto itu, pecinta alam yang sedang mendaki Salak, tiga puluh tahun lalu, persis. Seorang di antaranya perempuan pendaki. Sampai akhirnya, mereka berdua sepakat.

“Tidak ada seorangpun yang mirip Kamu, hanya ada yang mendekati. Itupun tetap saja tidak mirip.”

Perempuan itu menebak, sosok yang berdiri paling kanan. Aku mengangguk dalam, penuh tanda tanya. Aku tak dikenali lagi setelah tiga puluh tahun? Tampaknya rasa penasaranku jauh lebih tinggi daripada rasa penasaran mereka. Mereka mengatakan aku berubah.

Aku tak tahu, harus senang atau sedih. Atau seharusnya malah tidak perlu peduli sama sekali dengan rasa apapun yang muncul akibat kalimat itu. Malam itu selesai menyantap ikan bakar tadi di terminal di kawasan timur Indonesia, Aku berbaring di ranjang hotel, ke kiri dan ke kanan. Mungkin terlalu kenyang, karena tambahan durian sebagai pencuci mulut. Atau kalimat itu yang mengusikku. Benarkah “people change”? Benarkah perjalanan tiga puluh tahun telah membuatku berubah? Benarkah mereka benar?

Foto itu, masa kuliah tahun pertamaku. Aku masuk kuliah, mengambil jurusan akuntansi di salah satu kampus swasta di Jakarta, terbaik pada jamannya. Akuntansi, dengan pemikiran paling sederhana. Bisa segera bekerja. Bisa segera dapat duit, tidak menjadi beban keluarga. (Sempat mencoba ujian masuk jurusan sosial politik di salah satu kampus di Bandung, tapi gagal. Mungkin sumbangan wajib tidak cukup, karena sumbangan sukarelanya kukosongkan. Maunya yang penting kuliah, ternyata semesta punya kehendak lain. Dan entah jadi apa pula sekarang seandainya waktu itu diterima.)

Bersyukur juga selama kuliah masih sempat bergabung dengan kumpulan teman-teman kere di pecinta alam. Hobby kaum marjinal. Naik turun gunung, naik turun truk tronton, naik turun kereta api kelas rakyat, naik turun bis antar kota, naik turun angkot. Tidur di dalam tenda, tidur di alam terbuka, tidur di emperan toko dan rumah penduduk. Wilayah pendakianku hanya Jawa Barat, tidak lebih. Tebak kenapa? Yup, duit. Dan Aku selalu cemburu dengan teman-temanku yang bisa merambah kemana-mana.

Jangan salah, bagaimanapun Aku mencintai akuntansi dan angka-angka. Aku terlahir dengan mata setajam elang untuk melihat setiap kesalahan kecil, typo kecil, apapun bentuknya. (Try me! Hahaha…) Setelah tahun ketiga, Aku pindahkan kuliahku ke sore hari, untuk bisa mulai bekerja di perusahaan konsultan akuntansi. Menyelesaikan kuliahku persis empat tahun. (Melanjutkan S2? Atau kuliah keluar negeri? Ya Tuhan, entah sebesar apa keinginan itu dalam diriku. Aku bahkan tak berani dan tak sanggup membayangkannya.) Hanya berbekal gelar sarjana, dan selanjutnya bekerja dari satu perusahaan ke perusahaan lain, di bagian internal audit dan akuntansi dan keuangan, sepenuhnya back office.

Beberapa minggu lalu Aku sempat ngopi pagi bersama teman dan temannya teman, seorang ahli astrology. Setelah obrolan dan diskusi panjang, akhirnya kami “bermain” dengan tanggal lahirku (sayangnya Aku tak tahu jam lahirku, tapi mungkin cukup akurat), dan dari komputer canggihnya, sang ahli mengatakan bahwa Aku pada dasarnya adalah “seorang petualang”, bukan orang di belakang meja.

“Kalau Kamu bekerja hanya di belakang meja saja, Kamu akan ‘mati layu’!”

Sepuluh tahun pertama masa kerjaku dilalui di belakang meja. Dan Aku tetap ‘hidup berkembang’! (Paling tidak itu yang kurasakan). Dari kelas ruko (di ujung utara hingga selatan Jakarta), pabrik di kawasan industri (yang perjalanannya bisa membuatku tua di jalan), hingga ke salah satu bangunan tinggi tercantik di Jakarta. Semua berjalan baik. Dari mulai jabatan staff junior, senior, supervisor, manajer, general manajer, hingga posisi direktur. Aku melalui seluruh jenjang itu, dan tentu saja menikmatinya. Termasuk menikmati menumpang kendaraan umum omprengan hingga tengah malam, menumpang kendaraan jemputan kantor tanpa AC setiap pagi (yang keringatnya mengajarkanku memakai kaos dalam, hingga saat ini), menyantap rendang daging kerbau setiap minggu di pabrik, dan mulai menyisihkan gaji-gaji awalku untuk mencicil rumah idaman. Bertemu banyak orang, belajar dari banyak orang. Dan dari seorang Filipino, Aku diberitahu. “Kalau seorang akuntan ibaratnya adalah harimau, akuntan yang mahir marketing adalah harimau bersayap”.

Video Gaur Gopal Das yang kutonton, mengatakan, hiduplah seperti air sungai Gangga, yang terus menerus mengalir dari Pegunungan Himalaya ke tujuannya, tak peduli apapun yang merintanginya. (Aku teringat air sungai Sambasku.)

“Don’t be rigid. Be extremely flexible.”

Aku ingat betul, tidak pernah sekalipun memplot merambah dunia pemasaran, atau berpikir menjadi harimau bersayap, karena Aku pikir Aku bukanlah tipikal orang marketing. Aku bukanlah orang yang extrovert (Aku pikir begitu), yang ulet merayu (mending bunuh saja Aku), dan pundungan kalau ditolak (kadang dendaman malah, hahaha becanda, no, Aku serius). Walaupun marketing, tentu saja, tidak dalam pengertian sesempit itu. Tetapi aliran hidup toh akhirnya membawaku ke sana. Sejak awal tahun 2000, semua aktivitasku malah lebih banyak berkecimpung di area itu.

Adalah suatu kebetulan (atau apapun namanya) mengambil banyak peran marketing ketika direktur pemasaran di salah satu perusahaan sekuritasku bekerja menghadapi musibah rumah tangganya. Aku banyak dan sering kali menggantikannya. Perlahan mentransformasiku menjadi seorang yang menangani dunia baruku ini. Terus mengalir seperti sungai Gangga, hingga membentukku seperti saat ini. Seorang akuntan di dunia pasar modal yang bertemu dengan banyak pihak, calon investor, calon emiten dan pihak-pihak lain. Kemudian mengalir menjadi pembicara, “tukang ngamen” yang terus menerus “merayu” orang untuk menjadi investor atau emiten. Di depan mahasiswa, di depan pengusaha, di depan komunitas, di depan umum. Yang merasa bicara saja tidak cukup, dan pada akhirnya tiba-tiba saja mulai menulis dan terus menulis. (Yang artikel korannya akhirnya dibukukan. Hal lain yang tidak pernah sekalipun terpikirkan, apalagi direncanakan.) Bahkan menulis cerita ini, cerita mengenai diri, yang kadang, sebenarnya, sejujurnya, masih kurasakan janggal. But that’s life.

“I wish I’d had the courage to live a life true to myself, not the life others expected of me” dan “I wish I’d had the courage to express my feelings” adalah dua di antara penyesalan terbesar sebelum seseorang menghadapi sakratul mautnya. Aku tak mau itu ada di daftarku, saatnya nanti. Gaur Gopal Das mengumpamakan, hidup adalah seperti permainan catur. Sekali kita melangkah, seberapapun kita sudah menimbang dan merencanakannya, kita tidak pernah sanggup mengendalikan apa yang akan dilakukan oleh lawan kita. Permainan catur ataupun permainan hidup, tidak seluruhnya bergerak sesuai dengan keinginan kita, sesuatu yang kita idamkan. “Just keep moving, until you reach your destination”.

Mereka mengatakan Aku berubah. Mereka benar. Wajahku telah berubah. Nyatanya tidak hanya itu. Banyak hal dalam hidupku pun berubah. Banyak alirannya yang terhalang dan berbelok, terhalang dan berbelok, namun terus mengalir. Dan itulah yang membentukku. Sekarang ini. Seorang nicky. Aku berubah. Dan akan terus berubah.

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

7 replies on “MEREKA MENGATAKAN AKU BERUBAH

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.