“Everyone has a backstory. They have multiple backstories. The question is, which one is running you now?” ~ Tony Robbins

***

Senja masih menggantung di Terminal Kota ketika aku bersiap turun dari bis kota di perhentian terakhir itu. Aku harus bergegas, karena penumpang-penumpang ke arah sebaliknya, Blok M, sudah berlari mengejar bis yang kutumpangi berhenti. Aku selamat. Turun dengan sedikit melompat keluar dari bis yang belum berhenti sempurna. Menyaksikan serbuan penumpang, untuk mendapatkan tempat duduk, atau yang penting masuk ke dalam bis. Paling apes, ya bergantung di pinggir pintu. Sepanjang jalan. Yang penting terangkut, pulang ke rumah setelah seharian lelah bekerja.

Giliranku. Menunggu dan memandang metro mini-metro mini yang masuk terminal. Begitu metro-mini bertulis U25 masuk terminal, sekarang aku yang harus berlari, melompat, seperti yang dilakukan para penumpang lainnya. Kalau tidak dapat duduk, terpaksa membungkuk sekitar satu jam sebelum tumpanganku sampai ke daerah rumahku di kawasan padat, dan kumuh, di Jakarta Utara. (Membungkuk? Ya, masa itu metro mini tidak setinggi now, pilihan di dalamnya hanya duduk dan membungkuk.) Kadang kalau beruntung, penumpang yang duduk berbaik hati merelakan senderan bangkunya untukku sekedar menempelkan pantat agar tidak terlalu parah menyiksa tulang punggungku.

Malam itu, masuk ke kamarku yang gerah, menarik tali kipas angin exhaust, aku duduk di ranjang. Aku mengeluarkan selembar sertifikat dari amplop putih besar. Memandang kembali sertifikat, tertulis “The Best Participant”. Tadi sore adalah akhir dari training 2 hari dari salah satu kantor akuntan ternama di kantorku. Training internal management audit yang diikuti oleh puluhan karyawan, dari kelas manajer hingga kelas junior staff sepertiku. Ada dua penghargaan, satu “The Best Participant” untuk peserta teraktif, satunya lagi untuk peserta dengan nilai test terbaik. Aku, karyawan berusia baru tiga bulan, memperoleh yang kedua, mengalahkan para senior-seniorku.

Aku ingat, rasa senang, dan bangga – tentu saja – menyertaiku sejak namaku disebut di ruang training kantor, di salah satu gedung tercantik di ibukota. Rasa yang terus bersamaku di sepanjang perjalanan pulangku tadi. Tetapi sekarang di kamar ini, aku memandangi secarik kertas itu. Dengan siapa aku berbagi rasa senang, bangga, bahagia ini? Dengan siapa aku akan berbagi cerita? Nyatanya bukan hal mudah merayakan kebahagiaan sendirian. Atau bahkan dalam kesendirian, sebenarnya kebahagiaan itu tak pernah ada. Kalau demikian, bukankah mestinya juga tidak boleh ada kesedihan dalam kesendirian? Kesendirian mengajarkan rasa yang datar, senang dan sedih menjadi sama saja. Lalu kenapa mesti bersedih? Tiba-tiba aku merasakan tepuk tangan, pandangan kagum, dan ucapan selamat beberapa jam sebelumnya tadi, tidak lagi menyisakan rasa bahagia sedikitpun.

Aku membuka lemari baju, meletakkan sertifikat tadi di bagian terbawah tumpukan bajuku yang selalu tertata rapi. Berjalan ke arah pintu. Menguncinya. Klik, dan hatiku ikut terkunci.

***

Katanya bahagia itu sederhana. Aku mau menambahkan. Bahagia itu murah.

Berangkat naik bis kota dari terminal dekat rumahku, sekitar 1 kilometer berjalan kaki, menuju terminal ujung di Grogol adalah kegiatan sehari-hariku selama masa kuliah. Masa itu ada tarif ongkos spesial khusus untuk anak sekolah dan mahasiswa. Tarif spesial ini sering membuat supir dan kondektur bis kota yang sangar-sangar itu ngeri dengan kami, melihat kami menyetop, bukannya berhenti mereka malah langsung tancap gas. Penumpang murahan, rugi diangkut. Asem! (Sekarang masih adakah tarif spesial? Maafkan, maklum sudah lama tidak naik bis kota dan sudah lama tidak jadi mahasiswa.) Tarif khusus saat itu, Rp 100 jauh dekat, sedangkan untuk umum Rp 250. (What?! Semurah itu, tahun berapa itu? Sudahlah lupakan tahunnya. Yang pasti itulah sebabnya kenapa kamu butuh investasi! Ngerti kan sekarang?!)

Kuliah pagi, berangkat lebih pagi dan banyak berbarengan dengan para pekerja yang juga naik bis kota bernomor 203 itu. (Yakin sekarang trayek ini sudah almarhum.) Di antara para penumpang adalah orang tua salah satu teman SMAku. Cukup sering bertemu dengan ayah temanku ini, dan setiap pertemuan berarti berkah untukku. Ongkosku yang Rp 100 itu selalu dibayarnya, #rezekianaksholeh. Jadilah setiap kali naik ke atas bis, mataku akan refleks mencarinya (Hmm, hahaha, becanda). (Mungkin setiap kali naik bis, matanya juga mencariku. Dan kalau melihatku, langsung menarik napas panjang, hiks, nih anak lagi. No no no, kidding.) Aku tahu Si Oom tulus, sangat tulus. Terlihat dari sorot matanya. Senyumnya. (Terimakasih Oom, entah dimana sekarang.)

Tetapi yang pasti, yang mau aku katakan, banyak pagi seperti itu selalu menjadi pagi yang indah bagiku. Dan bahagianya akan terasa sepanjang hari. Mungkin berhemat Rp 100 menyenangkanku, memberiku kesempatan menyimpan sedikit uang lebih untuk keperluan lain. Mungkin juga bukan karena nilai Rp 100 itu, melainkan karena perhatian dan kasih yang pagi-pagi terpancar, seiring matahari terbit.

Si Oom mungkin dan pastinya tidak terganggu dengan mentraktir ongkos bis kotaku, bahkan setiap pagi sekalipun. Pengorbanan tak berarti untuknya, uang kecil. Begitu dia turun dari bis kota di depan kantornya, melambai kepadaku, dia mungkin sudah lupa dengan pemberiannya, kebaikan hatinya. Tetapi mungkin dia tidak sadar bahwa ada seorang mahasiswa yang memandangnya dari atas bis kota, dengan wajah tersenyum bahagia. Di bis kota, sepanjang perjalanan, hingga di kampus, sepanjang hari.

Ya, kadang kita tidak sadar, hal positif kecil, kebaikan kecil yang kita lakukan dan segera kita lupakan (memang seharusnya segera kita lupakan, bukan?) membawa dampak positif begitu besar bagi yang menerima. Seluruh harinya berubah, kebahagiaannya bersentuhan dengan lingkaran kecil di sekitarnya. Yang kemudian merembet ke lingkaran yang lebih besar. Dan lebih besar lagi.

***

Pagi itu anakku menuruni satu per satu anak tangga dari kamarnya di lantai atas, perlahan nyaris tanpa suara. Tidak seperti biasanya. Duduk di sofa tamu, tidak bicara. Hanya ada tatapan sedih, sekalipun dia mencoba untuk terlihat normal. Tidak pernah dia bangun sepagi ini, selesai mandi dan sudah lengkap dengan seragam sekolahnya. Biasanya paling sulit membangunkannya. Alarm tidak membuatnya bergerak, malah mengganggu tidur kita yang tidak membutuhkannya. Perlu usaha tingkat dewa untuk itu. Membasuh mukanya dengan tangan basah, atau yang lebih ampuh adalah menggelitik telapak kakinya. Itupun masih harus ditambah sedikit bersabar menunggunya sampai terduduk di ranjang, baru sedikit aman. Tapi pagi ini? Tidak perlu dibangunkan, tahutahu sudah siap. Tidak tidurkah semalam kau, Nak? Kecewa dengan pengumuman hasil tes masuk SMP favoritmu tadi malam? Sedih dengan penolakan itu?

Istriku semalam menangis. Sedih dan merasa bersalah. Adakah kesalahan penulisan data di formulir pendaftaran yang menggagalkan ini semua? Apakah salah menandatangani atas nama anak? Bukankah dia bilang bahwa dia bisa mengerjakan soal-soal tes masuk itu? Lalu sebenarnya salahnya dimana? Apa yang salah?

Tidak. Tidak ada yang salah. Kita tidak tahu kenapa. Atau biarkan saja, kita tidak perlu tahu kenapa karena memang kita tidak diberitahu dan tidak akan diberitahu alasan tidak diterimanya dia.

Sekarang mari dengar ceritaku. Selesai SMA, aku dan beberapa teman mencoba tes masuk salah satu kampus favorit di Bandung. Argh, masih ingat? Aku pernah cerita ini kan? Ya, aku ditolak. Sedih? Luar biasa! Membayangkan akibatnya adalah, uang masuk kuliah berlipat harus dibayarkan untuk kampus “cadangan” yang di Jakarta. Itu ketakutanku yang terbesar dan satu-satunya. (Maafkan aku, Ayah Ibu.) Ada malam-malam dimana aku tidak bisa tidur karenanya. Kenapa hidup tidak menyesuaikan dengan kemampuanku? Butakah mata kehidupan untuk melihat keadaanku? Kenapa hidup tega tidak adil begini, terus menerus melemparkan cobaannya, dan deritanya? Kalau perasaan yang mirip, sedang kita rasakan saat ini, aku mau mengatakan, memang begitulah jalannya. Itulah jalannya. Dan itulah yang terbaik. Mari berandai, kalau saja aku diterima di kampus itu, akankah pernah kita ketemu? Berkenalan, berpacaran dan akhirnya menikah? Adakah anak-anak luar biasa ini lahir dari kita? Bukankah ketidaklulusanku malah menjadi hal terbaik untuk kita, dan anak-anak kita? Maka, mari meyakini ada sesuatu yang baik di balik semua ini. Untuk kita. Untuknya terutama. Kita tidak tahu apa itu. Biarkan saja itu misteri. Hidup membutuhkan misteri. Dan itulah yang membuatnya hidup. Kita cukup mempercayainya saja, menjalaninya. Sudah tenangkah?

Malam-malam yang kulalui, penuh kekecewaan dan kesedihan akibat hasil pengumuman kampus Bandung itu, ketika aku terus-menerus dibuat tidak bisa tidur, aku teringat satu cerita, satu perumpamaan. Seorang petani yang tidak suka dan selalu terganggu dengan ilalang liar yang tumbuh di antara tanaman padi-padinya. Meminta saran obat-hama-penangkal ilalang ini itu, berbagai cara dilakukan, berulang-ulang, namun tetap saja ilalang itu ada dan tumbuh di sana. Hingga saran terakhir diterimanya dari sang ahli hama. “Cobalah bersahabat dengan ilalang itu.” Seketika saat itu juga masalah petani itu hilang. Demikian juga dengan masalahku, kekecewaanku, kesedihanku. Sejak saat itu tidurku selalu lelap.

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

4 replies on “TERBUAT DARI APAKAH KAMU?

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.