Mau yang mana dulu? Biasanya orang cenderung pilih berita buruk dulu, baru berita baiknya, supaya enak makan enak tidur. Baiklah, saya akan mulai dengan berita baik dulu.

Tahun 2018, menandai penambahan baru tertinggi jumlah perusahaan tercatat di lantai Bursa. Lima puluh tujuh. Rekor baru, sejarah baru. Memperbanyak pilihan perusahaan yang bisa kita miliki, 619. Tidak tertarik dengan yang baru? Ndak papa juga. Yang lama memang suka masih lebih berkesan kok. Eh.

Soal pilihan. Minggu lalu saya dihubungi, ada teman petaruh yang ingin gambling dengan saham perusahaan yang beberapa saat lalu seliweran di media, berita buruknya, pastinya. Si teman bersiap sua’ katanya, artinya kirakira double or nothing. Harga sahamnya kan dah terjun bebas? Tinggal tunggu naik. (Dalamnya laut bisa diukur, dalamnya saham? Seperti dalamnya hati, Sayang.) Dua tanggapan saya. Satu, “mending uangnya kasih ke gua”. Dua, “kebangetan yak, saham ada lebih dari enam ratus, lu mau pilih yang model begitu”.

Mata saya selalu berbinar bak kejora kalau bicara soal investor. Jumlah investor dan aktivitas transaksi bulanannya yang melonjak signifikan sepanjang tahun, lebih dari empat puluh persen dan nyaris tiga puluh persen. Melengkapi laju kenaikan ratusan persen jumlah investor dalam tiga tahun terakhir. Dan akhir tahun ini, dilaporkan jumlah investor pasar modal telah mencapai lebih dari satu juta enam ratus ribu. (Semakin banyak orang positif optimis akan semakin baik untuk negeri ini, di tengah-tengah orang-orang yang terus melontarkan kalimat negatif pesimis, dan mereka yang berkomentar buruk memuakkan di sosial media. Anda perlu belajar banyak dari data dan fenomena ini, Om. Kami kaum Milenial, penguasa empat puluh persen jumlah investor Indonesia. Kalau anda mengerti.)

Berita buruknya. Indeks saham kita tahun ini turun 2,54%. Tabungan saham dan reksadana saham saya merugi, hiks. Buruk. Untungnya saya adalah seorang investor, tulen. Seorang yang optimis, seorang yang positif, pikiran dan tuturan. So, no worries. Aku rapopo.

Oh ya, satu hal. Walaupun indeks saham kita turun 2,54%, namun, ketahuilah, itulah yang terbaik di Asia Tenggara (negara tetangga turun lebih dari 5%, beberapa bahkan dua digit), dan itulah kedua terbaik di Asia Pasifik (sama juga, beberapa turun lebih dari 5%, dan sebagian besar dua digit), Sodara-sodara! Argh, selalu punya alasan untuk bangga dengan negeri ini. Seharusnya. (Kalau kamu lempeng.)

*Maaf, ralat, penurunan indeks itu ternyata bukan berita buruk. #banggaindonesia

Sepanjang 2018, investor asing tercatat jualan bersih Rp 50triliun, dan itu tampaknya adalah penjualan asing terbesar dalam catatan sejarah di pasar saham kita. Namun, indeks hanya turun sedikit saja, karena kita banyak beli. Berjaya. Terimakasih Investor Domestik, Kamu keren!

Sekadar kutak katik, indeks turun 2,54%, jualan Rp 50triliun, seharusnya menyebabkan kepemilikan asing atas saham tergerus, minimal beberapa persen gitu. Namun nyatanya tidak, masih 52% (data November 2018), bahkan lebih tinggi dari akhir tahun lalu, 51%. Kok bisa?

Tampaknya, di antara penurunan indeks seluruh saham gabungan yang ada (ada saham yang turun, dan ada saham yang naik), asing lebih banyak memiliki saham yang naik dibanding yang turun. Profit taking yang enak banget; jualan dan dapat cash banyak, sementara nilai portofolio tidak berkurang, malah naik. Asing yang pintar. Investor pintar. Bertahun tahun membeli saham, mengakumulasi saham (nabung saham), dan sekarang saatnya mulai panen. Saya mau seperti itu. Dan saya mau kamu juga seperti itu, Sobat…

*Maaf, ralat lagi, ternyata tidak ada berita buruk.

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

4 replies on “BERITA BAIK, BERITA BURUK

Leave a reply to Nicky Hogan Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.