“Believe none of what you hear and half of what you see.” ~ Benjamin Franklin
Sepuluh Februari 2020, sore 16:15, perdagangan pasar saham Indonesia telah ditutup, computer dan mobile trading telah dimatikan, ihsg turun 0,79%, nilai transaksi sebesar 6 triliun rupiah lebih. Kelesuan terus membayangi, semangat menguap, tidak terlihat sama sekali fighting-spirit, sejak akhir tahun sebelumnya, berlanjut ke awal tahun. Tidak ada sinterklas pembawa kado berlabel “window dressing”, tidak juga ada eforia terompet tahun baru yang dipercaya selalu disusul dengan “january effect”. Kembali ke dunia nyata, dunia orang dewasa, bukan dunia anak-anak pendamba kado gratis, karena memang terlalu banyak mitos-dongeng-hikayat yang dibuat mengada-ada. Nyatanya tidak ada. Terlalu tinggi berharap, terlalu banyak yang dipercaya, selalu akan berujung kecewa.
Dunia saham kita, Indonesia, menghadirkan kenyataan terburuknya hari-hari ini. Ya, kitalah si itik terburuk rupa. Sebulan lebih, tahun 2020 telah menempatkan Bursa Efek Indonesia minus 5,5 persen. Terburuk di Asia Tenggara, terburuk di Asia Pasifik, dan terburuk di antara 36 negara benchmark indeks seluruh dunia. Lebih buruk bahkan dari indeks saham Shanghai, Tiongkok dan seluruh negara lain yang dilaporkan terjangkit virus corona. Hattrick terburuk yang mungkin tidak pernah terjadi sebelumnya, paling tidak untuk sementara.
Investor asing -kalau ini kembali menjadi parameter- tidak sedang jualan, malah beli bersih. Tidak ada indikator makro ekonomi negara yang mengkhawatirkan, malah rupiah menguat. Kondisi sospolhankam tidak ada kerawanan berarti, tidak perlu juga terkontaminasi dengan dunia netizen yang ingar-bingar seolah hidup tidak punya rupa lain kecuali yang namanya gaduh.
Kalau skandal Jiwasraya dijadikan parameter, dijadikan kambing hitam, rasanya kita terlalu jauh dari rasionalitas dan akal sehat. Kalaupun potensi kerugiannya belasan atau puluhan triliun rupiah, seberapa besar sebenarnya saham-saham gurem-gorengan yang terlibat skandal berdampak terhadap pasar saham secara keseluruhan? Kecil? Hampir tidak terpengaruh? Tidak terpengaruh sama sekali? Jawabannya, seharusnya, ya ya dan ya. Kalau segala sesuatu selalu dikaitkan dengan ketegasan dan kepastian hukum, preseden buruk dan berbagai alasan pembenaran, kita memang tidak cukup dewasa dalam memilah.
Menyedihkannya, tidak ada yang kita lakukan ketika kita menjadi yang terburuk. Kita seolah percaya bahwa kita memang yang terburuk. Tidak tersisa kebanggaan. No national-pride. Boro-boro. Malah kita terus menghukum diri kita sendiri, untuk kesalahan yang tidak pernah kita lakukan, dan yang tidak pernah ada. Begitu buruk telah kita perlakukan diri sendiri.
NH
Kebanggaannya kayaknya tersedot ke hal-hal lain yang tak masuk akal, Mas….
LikeLike
Mengkhawatirkan kalau begitu…
LikeLike