“The universe is made of stories, not of atoms.” ~ Muriel Rukeyser
Ancha ragu. “Saya orang yang tidak bisa ngomong, Oom. Nanti mau cerita apa? Live satu jam saya sendiri, tidak kelamaan? Tidak mau nambah satu lagi jadi dua orang saja?” Maafkan Bang, sayangnya saya sudah keburu percaya kepada John Geddes, “Light a campfire, and everyone is a story teller.”
Kita sering lupa bahwa sebenarnya kita semua adalah homo fabulans, si makhluk pencerita (dan karenanya kita juga sebenarnya orang yang senang mendengarkan cerita). Itu sudah ada dalam DNA kita, sejak nenek moyang kita, sejak jaman batu, di antara nyala api unggun. Hanya saja kadang kita merasa tidak ada kesempatan untuk itu, atau kadang kita merasa orang tidak akan tertarik dengan cerita kita. Padahal setiap manusia selalu punya kisahnya sendiri, semirip apapun -yang kita rasakan dan pikirkan- akan unik dan tidak akan pernah sama dengan cerita yang lainnya.
Lalu cerita mengalir.
Ancha membawa kita mendengar awal kisah larinya, hingga petualangannya dari mulai lomba 10K, half marathon, dan marathon. Di Makassar, di Bali, di Kuala Lumpur, di Sydney. Berlanjut ke ultra marathon, yang sifatnya charity, sejak 2016, dan tidak pernah absen setelahnya, setahun dua kali, NusantaRun dan RunToCare, menempuh ratusan kilometer.
Mendapat sorak “Nice costume! Nice costume!” ketika mengenakan baju adat Bugis (lengkap dengan sarung dan “nyeker” barefoot-nya) sambil berlari sejauh 42K selama 4 jam di Sydney, 2016. Ceritanya mencari dana -demi pendidikan dan pengasuhan anak-anak Indonesia- yang melelahkan, selain lari charity-ultra-nya sendiri yang juga melelahkan, menjajakan kaos dan gelang yang keuntungannya semata hanya untuk tambahan donasi. Tekadnya untuk menyelesaikan lari jarak jauh-lari jarak jauh itu, mengarungi siang terik dan malam dingin, kerikil tajam dan aspal panas, jalan berliku mendaki dan menurun, dalam lapar haus lelah kantuk, adalah tapakan menuju kebaikan, serta sebuah “tanggung jawab moral” terhadap para donatur. (Sekali waktu, Ancha pernah menulis, “Happiness Only Real When Shared”.)
Memulai “karier” sebagai “nyeker runner” sejak 2015, ketika ketiga pasang sepatu larinya yang telah kedaluwarsa kemembalannya, karena terlalu sering dipakai lari. Namun itu juga yang menjadi berkahnya, menjadi “trade mark” seorang Ancha, menambah kepekaan fokusnya dan mengasah ketajaman konsentrasinya, yang setelahnya selalu menapak semua lintasan larinya tanpa alas kaki, latihan pendek sehari-hari maupun jarak-jarak super jauh, antar kota.
Plus, bendera Merah Putih yang selalu setia berkibar di balik punggungnya, menemani setiap langkah-langkahnya, dari awal garis start hingga bentangan pita finish, karena “Walaupun kita berlatar belakang berbeda-beda, tujuan kita tetap satu, Indonesia!” Cerita yang indah bukan? Negeri ini patut berbangga dan berterimakasih kepada Hamzah “Ancha” Haruna, ya, seperti sebuah tulisannya yang lain, “You don’t need a cape to be a hero. You just need to care.”
Bumi berputar. Api menyala. Cerita akan terus tercipta.
NH