“Jangan takut kalau aku tak lagi ada, takutlah kalau meja itu sudah tak ada, karena kita tak akan bisa mengulang kisah awal tentang segelas es jeruk.”
Matahari pukul enam pagi yang saban hari menemani tidak tampak di balik awan tebal abukelabu hanya tersanding bulan yang terlambat pulang namun tidak juga menunjukkan tanda akan hujan karenanya dia tetap mengayun langkah larinya melewati gang kecil menuju jalan raya lurus berbelok ke kiri jauh hingga ke tugu berputar balik menempuh lima kilometer berikutnya sebelum singgah di tukang es langganannya.
“Biasa?”
“Dua.”
“Dia akan datang?”
“Entah.”
Dari seberang meja tukang mendoan hanya memperhatikannya tidak berniat menghampiri karena biasanya bukan dia yang memesan sembari melirik gelas es jeruknya yang telah tinggal separuh sementara dia sebentar bentar mengetuk layar telepon genggamnya diselingi senyum lirih yang tidak mampu disembunyikannya pada seraut wajah kecewa yang tertangkap ujung mata tukang es yang melintas.
“Dia tidak datang?”
“Tidak.”
“Tidak ditunggu?”
“Biarkan saja utuh.”
Dia beranjak meninggalkan meja bulat kayu itu dan dua gelas es jeruk yang satu kosong dan satu belum lagi tersentuh melangkah perlahan menyusuri jalan lengang dengan pohon pohon rindang di kedua sisinya yang bulan lalu mereka lalui dalam diam hanya ada gemerisik daun daun kering rontok yang diterbangkan angin pagi dan yang jatuh berserakan yang suaranya terdengar indah ketika terinjak sepatu lari mereka.
NH
*mendadak pengen es jeruk😑
LikeLike
😋
LikeLike