“Hidupi hidupmu, syukuri apapun yang Tuhan beri buatmu, buat hidupmu.” ~ Bonaventura Sukintoko Pramudyo

Di satu siang terik, tahun 2019, di pelataran parkir lapangan sebuah gedung perkantoran di Jalan S Parman, Jakarta, saya menonton IGTV pendeknya. Cerita pengalamannya menyelesaikan marathon pertama, dalam derai air mata. Saya terkesan. Trenyuh.


Bipolar disorder. Bukan zona nyaman saya, tentu saja; di luar tema investasi dan lelarian. Kekhawatiran telah dimulai sejak memutuskan dan menanyakan kepada Bonaventura Sukintoko Pramudyo, apakah bersedia mengisi acara “Api Unggun”. Sebuah eksplorasi -bukan eksploitasi- terhadap seorang yang sudah dengan yakin dan terbuka menyatakan dirinya sebagai “mental illness”. Namun tokh tetap saja tidak mudah untuk saya, “Adakah kata atau kalimat yang kalau nantinya dilontarkan bisa jadi salah, trigger words? Adakah yang pantang ditanyakan? Adakah orang menjadi salah paham?” (Kalaulah Bona, mungkin, terganggu tidurnya malam sebelum acara live itu, saya tidak kalah terganggunya.)

Pada akhirnya, yang menguatkan adalah bacaan dan informasi yang saya peroleh sebelumnya. Bipolar disorder, gangguan mental yang menyerang kondisi psikis seseorang yang ditandai dengan perubahan suasana hati -dua kutub, baik dan buruk- yang sangat ekstrem berupa kebahagiaan (mania) dan kesedihan (depresi) yang berlebihan, tanpa pola dan tanpa mengenal waktu. (Yang saat suasana hati “survivor”-nya buruk, menjadi sangat depresi, pesimis, putus asa, bahkan sampai mempunyai keinginan untuk bunuh diri.)

But, wait! Rentang suasana hati yang sangat ekstrem itu, terbentang luas dan jauh, merambah kedalaman dan ketinggian, begitu semesta!, yang nyatanya justru malah mampu menghasilkan masterpiece, mengubah wajah dunia, dan menebar kesukacitaan. Saya terkesima dengan deretan ini.

Vincent van Gogh (The Starry Night, “This world was never meant for one as beautiful as you”), Ludwig van Beethoven (kapan terakhir dengar “Für Elise?”), Leo Tolstoy (War and Peace, “Strong people are always simple”), Ernest Hemingway (The Old Man and The Sea, “You are so brave and quiet, I forget you are suffering”), Abraham Lincoln (“Life is hard but so very beautiful”), Winston Churchill (menulis 43 buku sembari menjadi PM Inggris), Frank Sinatra (“And now, the end is near…”), Jimi Hendrix (“Excuse me while I kiss the sky”), JK Rowling (“Aresto Momentum!”, tertarik?), trio SteveJobs BillGates EllonMusk (what do you think?).

Itu hanya menulis contoh kecil; saya bisa menghabiskan bermalam-malam meneruskan daftar itu. Namun, yang pasti, gosh!, tidakkah itu adalah karunia? Hal-hal yang orang biasa, kita-kita, tidak akan mampu rambah dan bayangkan. Kita tidak nyampe untuk menciptakan Ivan Ilyich, Santiago, maupun Harry Potter. Beruntunglah kita, beruntunglah umat manusia, karena ada “Mereka”.


Ketika di akhir acara saya sampaikan ke Bona, “saya dan teman-teman menunggu masterpiece dari Bona”, saya sadar saya salah. Bona adalah masterpiece itu sendiri.

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.