Aku risau. Membatin, kok bisa gitu supir taksi bandara tapi tidak membawa kartu elektronik untuk bayar toll. Tidak mungkin dong mengandalkan penumpang yang mengantongi. Lalu kalau tadi katanya keselip, mau berapa lama lagi cari sanasini? Ya, lainkali letakkan dong di tempat yang mudah terjangkau. Masih untung toll sedang lengang, tidak ada antrian mobil di belakang. Argh!
*) Aku, dalam perjalanan pulang ke rumah, baru saja mendarat malam dengan pesawat terakhir, setelah sebelumnya menempuh perjalanan darat enam jam, diselingi meeting on-line kantor duajam yang melelahkan.
Aku panik. Sejak awal aku berharap penumpangku ini membawa kartu elektronik untuk toll. Sepanjang jalan tadi aku sudah berdoa, nyatanya doaku tidak terkabul, seperti juga beberapa doaku akhir-akhir ini. Bagaimana lagi. Terpaksa aku harus turun mengiba ke pengendara di pintu toll sebelah, meminjam kartunya untuk nantinya aku gantikan tunai, di depan, lepas pintu toll.
*) Aku, setelah ngetem hampir seharian di bandara, akhirnya mendapatkan giliran mengantar penumpang, dengan kartu toll di dompet lusuhku hanya bersaldo tigaribulimaratus perak, yang tidak lagi mampu kuisi ulang beberapa hari terakhir.
Aku tersenyum. Ketika tanganku sedang menempelkan kartu elektronik toll untuk membayar, aku melihat wajah cemas dan pasrah bergegas menuju ke arahku. Aku tahu pasti sudah, ini urusannya dengan kartu. Beruntung aku punya selembar kartu cadangan yang bisa dipakainya, masih bersaldo limapuluhribu. Ketika supir taksi itu mendekat, aku menyodorkannya, “Sudah, bawa saja.”
*) Aku, baru saja menjalani hari terakhirku di perusahaan setelah belasan tahun bekerja, terdampak krisis yang memaksa phk sebagian karyawan, dan mungkin setelah ini aku menjadi supir on-line, atau pulang ke kampungku di seberang pulau.
NH
Super
LikeLiked by 1 person
Terimakasih
LikeLiked by 1 person
Sama-sama pak
LikeLike