“Puncak dari segala profesi adalah investor.” Untuk orang awam yang bukan investor, kalimat itu terdengar agak berlebihan, lebay, dan mungkin arogan. Apalagi ketika ditambahkan komentar, “Di dunia hanya ada dua profesi, yakni investor dan profesi lainnya”. Namun begitulah para investor (pasar modal), memandang dunianya. Terobsesi dengan istilah “financial freedom”, percaya pada kuadran keempat Robert Kiyosaki, sembari mengutip tanpa kedip petuah Warren Buffet. (Terkadang weekend yang monoton terasa lebih membosankan dibanding weekdays yang dinamis, terkadang foto pemandangan indah pun dikaitkan antara sebuah “big catch” lensa kamera dengan tangkapan besar dari keuntungan sebuah saham.)
Sebegitunyakah?
Begitulah dunia investor. Juga dunia di luar investor. Dunia saat ini adalah dunia yang keras kepala. Ketika kita tengah memuja seseorang atau sesuatu, hampir tak ada ruang untuk berpaling ke sisi yang lain. Demikian juga sebaliknya, ketika kita tidak simpati. Tembok-tembok terbangun kokoh dan tinggi, membentengi persepsi kita terhadap “lawan”, sementara gerbang terbuka lebar untuk setiap info yang “kawan”, sekalipun itu adalah info yang salah dan menyesatkan; dan kita tidak peduli.
Arta Sasmita mengagumi pasar modal, mempercayainya akan mampu mengubah mindset konsumtif seseorang dan menjadi salah satu pilihan masyarakat Lombok Tengah untuk tidak mencangkul sampai mati. Pemuda pintar dan baik hati ini ikhlas bolak balik dari kampusnya di Jakarta pulang kampung saban minggu dan bulan, mengetuk pintu-pintu kantor dinas – yang tidak pernah dibukakan untuknya, plus dilecehkan bahkan diusir. Beruntung, pintu kantor kepala dinas HL Dipta Samad terbuka untuknya. Bahkan dilapangkan sang mantan guru itu hingga ke akses pintu Pak Bupati, untuk dapat merambah ke 11 kecamatan, 10 desa, ribuan masyarakat. Dan 7 Desember 2017, lahirlah Masyarakat Nabung Saham Kabupaten Lombok Tengah. (Catatan mengenai Lombok Tengah; kalau selama ini kita akrab dengan Senggigi dan gili-gilian di Lombok sisi barat, jadwalkan saja satu saat nanti berbaring di atas pasir merica Kuta menunggu sunset, sebelum besoknya menonton balap MotoGP dunia di sirkuit Mandalika.) Namun, seperti api unggun, atau apapun di dunia ini, yang ada kalanya meredup, semangat awal berinvestasi di kabupaten itupun perlahan mengalaminya. Mungkin akibat banyak prioritas lain, ketiadaan sosok, kehilangan semangat.
Baiknya, itu tidak meredupkan Arta, (“Berpikirlah untuk sebanyak-banyak orang, maka anda tidak perlu khawatir dengan hidup anda sendiri.”), yang selepas kuliah malah terus bergerak ke kabupaten-kabupaten lain se Nusa Tenggara Barat, serta menerobos ke sektor-sektor ekonomi kemasyarakatan lain. Baiknya juga, kita harus selalu percaya bahwa kita tidak pernah boleh sekali-kali meremehkan benih yang pernah ditabur, di manapun, kapanpun, karena “untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.” Baiknya lagi, kita perlu selalu mengingat kalimat seorang guru bijak, “Jadi guru itu, ndak usah niat bikin pintar orang. Nanti kamu hanya marah-marah ketika lihat muridmu tidak pintar. Iklasnya jadi hilang. Yang penting, niat menyampaikan ilmu dan mendidik yang baik. Masalah muridmu kelak pintar atau tidak, serahkan sama Allah. Didoakan saja terus-menerus, supaya muridnya mendapat hidayah…”
NH