Kepalaku sedikit berputar ketika aku mengemas seprei dan selimut yang berantakan. Menata seprei putih baru dan menaruh selimut bergaris biru laut. Meletakkan kembali bantal-bantal di tempatnya, yang berserakan di ranjang besar dan lantai kayu ketika aku masuk tadi. Juga gelas-gelas kotor di meja kecil dan sebuah botol kosong bertulis Macallan terguling di bawah meja kaca rias. Rongga mulutku masih menyisakan mual muntah sejak dua hari lalu, sejak kapal ini mulai berlayar. Untungnya ini hari terakhir, sebentar lagi kapal akan kembali berlabuh. Benar saja peringatan Bang Rony, abang temanku, “Kau tuh anak petani, Vin. Gak cocok jadi pelaut, kerja di kapal.” Entah benar entah tidak kalimat itu, tetapi keinginan merasakan pengalaman naik kapal laut, apalagi ini kapal pesiar phinisi, mendorongku untuk terus memohon, walaupun hanya menjadi tukang bebersih, room boy. Tidak tepat disebut bekerja sebenarnya, hanya sekedar membantu. “Aku butuh duit, Bang.” Rengekan terakhirku dan Bang Rony, koki kapal itu, akhirnya menyerah. Aku butuh uang, sedikitpun, berapapun. Sudah dua bulan uang sekolahku dan adikku tak terbayar, sementara sakit ibu sudah seminggu ini tidak kunjung membaik.

Sayup-sayup suara tawa cekikikan dari lantai atas terdengar dari ruang tidur di perut kapal ini. Seorang pria paruh baya, kata Bang Rony sih seorang pejabat dari Jakarta, dan dua wanita muda. Kapal sebesar ini hanya ada tiga penumpang. Sudah biasa itu, sambungnya, bagian dari entertainment. Aku tidak mengerti. Yang aku tahu pasti, tidak satupun wanita itu adalah istri sang pejabat. Pagi dan sore mereka berenang dan snorkeling, kemarin sempat kulihat mereka ke pantai berpasir putih tak berpenghuni, setelahnya makan malam dan menghabiskan sebotol wine dari lemari di lounge. Tertawa, menjerit, bernyanyi dan menari, mungkin mabuk atau setengah mabuk. Dan terus berlanjut di ruang tidur mereka. Semalaman.

Kamar tidur telah rapi kembali, bersiap menerima tamu berikutnya. Tetapi Bang Rony sudah memperingatkan, tidak mengizinkanku kembali ikut berlayar, perjalanan seminggu ke sisi selatan. “Kau harus sekolah, Vin. Sedikit upah dan tips dari tamu cukup untuk kamu pakai sementara.”

Pekerjaanku hampir selesai, ketika aku mendengar suara langkah menuruni anak tangga. Di pintu, berdiri satu dari wanita tamu itu. Memandangku. Mata kami beradu. Keceriaan dua hari ini tidak tampak di bola matanya. Tidak tersisa sedikitpun.

“Kamu bolos sekolah?”

“Ya Kak,” aku berkata ragu, “Ibu sakit…”

“Aku tahu.”

Dia membuka tas. Aku memperhatikan sisi dalam pergelangan tangan kanannya yang bertattoo. Gambar kelinci. Aku ingat, suatu waktu dulu, pernah bertanya kepadanya, mengapa ditattoo.

“Kehidupan tidak sempurna. Seperti halnya manusia, tidak sempurna. Tattoo diciptakan untuk menutupi ketidaksempurnaan itu. ”

Dan kenapa kelinci.

“Karena dia periang dan tulus.”

Karenanya aku percaya dia punya beberapa tattoo lain di bagian tubuh lain. Dia menyodorkan beberapa lembar uang kertas ratusan ribu. Sepintas melirik, aku menebak sepuluh lembar.

“Kakak tidak pulang?”

Dia menggeleng lemah.

“Besok aku ditugaskan sebulan di Sulawesi.”

Aku menyentuh pergelangannya. Dia memandang kelincinya. Matanya tampak sedih. Mengusap tanganku, “Sampaikan salamku untuk ibu…”

Wanita berusia duapuluhsatu tahun itu berbalik, dan menghilang di tangga naik. Aku merasakan kapal bergerak perlahan, melambat. Dari balik jendela kaca bulat, aku memandang keluar. Ada sepotong pelangi di sana. Tidak sempurna.

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.