Hujan tidak juga berhenti sepanjang pagi, masih menyisakan gerimis. Sejak pukul sembilan tigapuluh tadi, atrium telah ramai oleh pengunjung, para penggemar Bai, yang menghadiri peluncuran buku “Tanda Tangan”.
“Itukah akhir tragis Ody?”
“Saya masih tidak mengerti kenapa Ody tega melakukannya?”
“Apakah karya ini sepenuhnya fiksi atau ada bagian real-nya?”
“Kapan peluncuran buku selanjutnya melengkapi trilogi ini?”
“Apakah judulnya akan menggunakan kata “tanda” lagi?”
“Tanda-tanda?”
“Apa rencananya setelah trilogi ini?”
Bai banyak tersenyum dengan bombardir pertanyaan itu. Sebagian dijawabnya, sebagian lagi tidak, meninggalkan misteri untuk para pecinta kisahnya. Dialog tanya jawab singkat, dan penyerahan mock-up tanda diluncurkannya novel yang telah beredar sejak minggu sebelumnya.
Kerumunan dan antrian panjang mengular untuk mendapatkan tanda tangan sang penulis. Selfie dan permintaan foto bersama dilakukan oleh hampir setiap pemburu tanda tangan, menambah lama waktu mengantri.
Dakar, di antara kerumunan dan keraguannya, yang sedari tadi hanya menyaksikan dari barisan belakang, akhirnya turut masuk barisan. Waktu terasa bergerak sangat lambat, seolah maju selangkah saja membutuhkan purnama demi purnama. Wajahnya tegang, walaupun terkadang juga terlihat datar. Banyak menunduk melihat sepatu ketsnya yang basah, celana jeans bagian bawahnya yang basah, dan ransel bagian luarnya yang basah, yang terus ditenteng sejak mulai berdiri tadi.
Waktu bergerak semakin lambat, seolah bumi dan segala isinya bergerak sangat pelan. Ketegangannya perlahan memuncak, namun segera surut ketika akhirnya tiba juga gilirannya.
“Duduk, Mas.”
“Terimakasih, berdiri saja.”
Dakar memeluk ranselnya, membuka resleting, sangat hati-hati. Mengambil “Tanda Mata” dan menaruhnya di meja. Bai menatapnya sekilas.
“Nama?”
“Ndak usah, Bang.”
Bai tersenyum, mengangguk, lalu membubuhkan tanda tangan di lembar pertama, dan tanggal hari itu.
Dakar merogoh “Tanda Tangan” dan menaruhnya kembali di meja.
“Maaf, bukunya sedikit basah, terkena hujan.”
Bai mengamati bukunya, basah pada bagian bawah. Ada rasa bahagia mengalir di dadanya, Bai tidak mengerti itu apa.
“Mas mau tahu judul buku ketiga?”
Bai seperti berbisik, menggoda, tersenyum tanpa mengalihkan pandangan dari buku karyanya. Tidak ada jawaban.
Bai menengadah sejenak, tetap tersenyum, namun tidak juga berkata-kata. Tangannya kembali bergerak membubuhkan tanda tangan. Mata Dakar tiba-tiba sigap, tangannya merogoh ke dalam ransel, sebilah pisau kilap dikeluarkan dan langsung ditancapkan ke tubuh Bai, persis di bagian kiri dadanya.
“Inilah akhir semuanya…”
Bai tumbang seketika. Darah telah menciprati tanda tangannya yang belum sempat kering. Tanda tangan terakhirnya. Tanda tangan yang akan selalu dikenang. Seorang penulis muda berbakat, Bai. Dan seorang pembunuh bernama Dakar.
NH