Dakar terbangun. Telepon genggamnya menunjukkan pukul 04:44, Dakar segera mematikan alarmnya. Bersamaan dengan bunyi guyuran hujan deras mengetuk-etuk genteng di atas kamar kosnya. Matanya menatap langit-langit plafon triplek yang pada beberapa bagiannya menguning. Entah karena bocor tetesan air saban kali hujan, atau bekas kencing tikus yang setiap berapa hari terdengar berkejaran. Empat titik sudut temboknya serupa, menguning akibat bekas aliran air. Tiga buah paku tertancap di dinding triplek, satu di antaranya tergantung jaket ojek on-linenya. Sebuah lemari baju kayu tua dan meja tulis bekas yang tidak matching warnanya, berjejer di samping pintu kamar.

Kamar tanpa jendela, yang telah ditempatinya sejak pertengahan tahun lalu, seusai phk massal di kantor batubaranya. Dengan pesangon delapan tahun bekerja sebagai seorang administrasi pembukuan, cukup untuknya membayar uang muka sebuah sepeda motor, dan sebagian lainnya dikirim ke ibunya di kampung.

“Nak, kau lebih membutuhkan dibanding ibu…”
“Ndak papa, Bu. Kalau ada lebih lagi besok-besok, tak kirim.”
“Nak…”

Tak ada orang lain, Dakar hanya dekat dengan ibunya. Sejak kecil, Dakar tidak mengenal ayahnya, tidak pernah bertanya kepada ibunya dan ibunya pun tidak pernah bercerita. Dalam segala keterbatasan ekonominya, mereka sudah cukup bahagia, tidak butuh cerita drama apapun. Menyelesaikan SMEA di kampungnya, Dakar tahu bahwa dia harus bekerja, dan pilihannya hanya ke kota. Beruntung, memulai sebagai office-boy, hingga akhirnya dipercaya membantu administrasi. Setiap bulan, selalu ada yang dapat dikirimkan ke ibunya. Hanya saja, kiriman sebagian pesangon itu adalah kiriman terakhirnya. Tak lama ibunya meninggal.

Dakar menyalakan lampu kamar, berjalan menghampiri meja tulis. Belasan buku tertata rapih menjulang vertikal. Di bagian paling atas, Dakar meraih sebuah novel, membaliknya, memandang lamat foto di sampul belakang, wajah Bai. Lalu membuka halaman terakhir “Tanda Tangan”.

“Kematian belum sempat memisahkan kita, namun kehidupan terus menerus melakukannya. Aku lelah. Inilah akhir semuanya…”
Suara Ody terdengar datar dan kosong, disusul letusan pistol yang sedari tadi digenggamnya.

Di mata Dakar, Bai seorang penulis yang luar biasa. Banyak novel dibacanya, namun ketika menemukan “Tanda Mata”, Dakar serasa tersihir, mungkin sama seperti para pembaca lainnya. “Aku telah mencoba menulis sejak SMEA, bahkan tidak satupun ceritaku pantas disandingkan dengan satu saja kalimatnya.” Dakar kagum. Dan iri. Ketika setiap orang memiliki kesempatan menjadi hebat, Dakar tidak merasa memilikinya. Ketika setiap orang memiliki kesempatan menjadi terkenal, Dakar merasa tidak akan pernah memilikinya.

Dakar membuka ransel lusuhnya, memperhatikan isinya, dan menarik napas panjang. Dua seri buku novel Bai dimasukkan dan ditata rapih, untuk ditandatangani di acara peluncuran “Tanda Tangan” pukul sepuluh nanti. Sekali lagi Dakar menarik napas panjang.

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.