Anakku,
Apakah kamu bersedih hati?
Los Angeles Lakers adalah klub basket favoritku. Sejak dahulu. Bahkan setiap kali pertarungan tahunan NBA All-Stars, Aku selalu berharap West mengalahkan East. Aku menggemari Lakers, seperti halnya Aku menempatkan sepakbola Brazil di salah satu sudut hatiku. Tak peduli Lakers pernah tenggelam, absen berkali-kali di babak play-off, tetap selalu kutunggu kabarnya, dan kebangkitannya kembali. Brazil pun. Kamu masih menyukai Brazil? Masih ingat tangismu yang meledak di kota Malang, ketika kita menyaksikan di layar kaca, tim kesayangan kita tersingkir di perempat final World Cup 2010? Untungnya saat itu Kamu mewakiliku. Sulit untukku menemukan hal-hal lain di luar olahraga dimana Aku bisa sesetia itu.
Anakku,
Kobe Bryant adalah pujaanku. Senin subuh ketika mengecek WAG, sebuah postingan -seorang teman yang tinggal di US, yang tidak menyukai hoax- berita kematian Kobe, Aku tertegun. Mengamati sumber berita sebelum membukanya lebih lanjut, Aku tahu itu adalah berita resmi. Kenyataan. Sebuah kenyataan yang harus ditelan. Pahit.
Senin yang menyedihkan, untuk jutaan orang di seluruh dunia. Malam itu, Aku menyaksikan kembali tayangan-tayangan, penghormatan-penghormatan, komentar-komentar. Nak, tahukah Kamu, hari itu, siapakah yang paling bersedih hati?
“Hari ini, Kobe mati dua kali.” Aku lantas membayangkan, Kobe tengah memeluk erat-erat Gianna “Gigi”, putri 13 tahunnya, di dalam kepanikan helikopter yang tengah berputar menukik ke bawah. Dalam hitungan detik. Apakah yang ada di kepala Kobe? Kalimat apakah yang diucapkannya untuk menenangkan Gigi? Bagaimanakah perasaan Kobe? Tidakkah dia putus asa? Tidakkah Kobe telah “mati” terlebih dahulu, pasrah tidak dapat melakukan apapun, untuk putri kesayangannya dalam dekapannya, menatap kematian bersama?
Anakku,
Tidakkah di antara kita semua, hari itu, justru Kobe adalah orang yang paling bersedih hati? Kalau kali ini mataku basah, Kau tak perlu mewakiliku, Nak.
Salam,
Ayah