Kilat telah mengganggu gelap sempurna langit. Bai membuka mata, memandang lidah api yang memudar dari kaca jendela kamar yang terbuka. Bai memang tidak pernah menutup tirai, selalu membiarkan langit telanjang menemani tidurnya, dan menunggu cahaya pertama matahari membangunkannya. Percuma rasanya, tinggal di apartment lantai tujuh belas, kalau menyia-nyiakan pemandangan itu semua. Kalau tak mampu menikmati pijakan bumi, kenapa tidak mensyukuri ruang langit saja. Dua lagi jilatan api di atas sana, sebelum air hujan mulai menetes. Semakin lama semakin deras. Bai meraih telepon genggam di meja samping ranjang, masih tertancap di stop kontak, layarnya menyala menunjukkan pukul 04:44.
Bai bukan orang yang percaya dengan mitos angka, namun perasaannya tiba-tiba terasa aneh. Pernah didengarnya, dalam bahasa Mandarin, angka empat dilafalkan sama dengan kata kematian. Bai mengalihkan kembali pandangan ke jendela, sementara titik-titik hujan mengalir di balik kaca buram. Berdiri malas, berjalan lemah dan melempar pandangan ke bawah. Jalanan tampak lengang, satu dua tiga empat lima titik lampu mobil melaju, tiga sepeda motor melintas menembus hujan.
Sebuah rak kayu bercat putih tiga susun berisi buku-buku tertata rapi, berdiri menempel ke tembok samping jendela. Dua plakat kayu, kombinasi dengan logam berbentuk buku yang terbuka, berdiri di depan deretan buku-buku. Plakat yang diterimanya Oktober dua tahun lalu, penghargaan “Penulis Terbaik” kategori Penulis Muda. Waktu maju ke panggung, Bai sempat tersenyum geli, membayangkan kata muda itu. Muda? Umurnya tiga puluh tujuh, tak pantas lagi disebut muda. Mungkin yang dimaksud dengan penulis muda adalah pendatang baru. Padahal Bai sudah menulis sejak awal kuliah, untuk konsumsi pribadi, dan tidak merasa perlu menunjukkannya kepada siapapun, masa itu.
Satunya lagi plakat tertulis “Buku Fiksi Terbaik”. Dua penghargaan sekaligus diterimanya, melambungkan namanya. Dianggap fenomenal, novel “Tanda Mata” langsung menjadi perbincangan. Dalam hitungan bulan telah dicetak berulang-ulang, menghiasi etalase, membanjir di toko-toko buku, dan toko-online. Akhir tahun lalu, penerbitnya telah menawarkan cetakan versi bahasa inggris, dan tengah dipersiapkan sekarang. Bai mendadak tenar, jumlah pengikut akun instagramnya meroket. Kutipan-kutipan dari novel pertama yang puitis itu menjadi viral. Dan pertanyaan mengenai buku lanjutannya tak pernah berhenti menghiasi dinding medsosnya.
Sebuah novel tergeletak di samping telepon genggam, berjudul “Tanda Tangan”, dalam bentuk tulisan mirip sebuah tanda tangan, berwarna merah darah. Di bawahnya, “Dari Pengarang Buku Mega Best Seller, Tanda Mata” dan namanya, singkat, Bai. Hari ini, pukul sepuluh pagi, buku keduanya, dari rencana trilogi, akan diluncurkan, di sebuah di atrium mall pusat kota.
Bai rebah di ranjang, matanya terarah ke jendela. Hujan belum berhenti. Bai memejamkan mata, masih ada sekitar satu jam sebelum alarmnya berbunyi, mencoba untuk tidur kembali. Namun sia-sia.
NH