Anakku,
Seorang ibu tua berdiri, matanya terus mencari-cari kendaraan umum yang lewat. “Sudah hampir sejam, bus ke Bekasi belum juga terlihat.” Ketika Aku menghentikan sebuah taksi, Aku menawarkan tumpangan ke lokasi yang lebih strategis untuknya menunggu bus. Dia membatalkan rencana mencegat ojek, dan bergabung duduk di bangku belakang bersamaku. “Saya hendak menjenguk adik, terimakasih banyak.”
Sebuah kebaikan? Tentu saja. Hanya kebaikan kecil. Hanya untuk kami berdua, kalau tidak Aku ceritakan di sini. Sarapan pagi untuk jiwa yang nikmat, sebelum memulai aktivitas kerja yang bertumpuk-tumpuk.
Dalam hitungan menit, belum satu jam, di kantor, seorang teman menghardik, untuk kebaikan -rasanya- yang Aku lakukan. Suara keras dan bergetar, haruskah Aku membalas setimpal? Tidak. Tidak cocok, tidak sepadan, hanya akan menyia-nyiakan “kebaikan”. Aku sekokoh batu karang, dalam hempasan ombak besar, tidak goyah sedikitpun. Tidak ada sedikitpun amarah balik, tidak ada sejengkalpun luka-pride, hanya butuh sedikit bicara. Baik-baik.
“Bila engkau baik hati, bisa saja orang lain menuduhmu punya pamrih. Tapi bagaimanapun, berbaik hatilah.” ~ Bunda Teresa
Anakku,
Aku tidak pernah berharap apapun kepada si ibu. Juga sebenarnya bukan kejadian untuk diceritakan. (“Kebaikan yang diceritakan bukanlah sebuah kebaikan”, I know it.) Seperti juga Aku tidak pernah berharap lebih, untuk semua yang -kubersikukuh- bernama “kebaikan” yang kulakukan di tempat kerja. Masaku telah selesai, sekarang adalah masa untuk orang-orang di sekitarku.
Hanya saja, setegar-tegarnya batu karang, akan terkikis, sedikit demi sedikit, seiring berjalannya waktu. Doakan anakmu, Bunda.
Peluk,
Ayah