Seorang gembala setiap hari membawa domba-dombanya ke padang rumput hijau di balik bukit. Suatu pagi, di desa terdengar suara teriakan keras Gembala, “Tolong, tolooong, ada serigalaaa…!”. Penduduk segera mengambil cangkul, parang, linggis, apapun dan bergegas berlari menaiki bukit, mengarah ke Gembala, “Mana, mana serigalanya?” Si Gembala tertawa terbahak, “Yeay, kalian kena tipuanku, hahaha…”. Orang-orang memandang marah ke Gembala, dan berjalan balik ke desa. Dalam hitungan jam, ketika matahari tengah terik, kembali terdengar teriakan Gembala, “Tolong, tolooong, ada serigalaaa…!”. Penduduk kembali berlari kencang sambil membawa senjata yang mampu diraihnya, “Mana, mana serigalanya?” Tidak ada, yang terdengar hanya tawa keras Gembala, “Hahaha, kena tipu lagi…”. Demikianlah, menjelang sore, penduduk di desa sekali lagi mendengar, “Tolong, tolooong, ada serigalaaa…!” Namun sekali ini mereka sudah tidak peduli sama sekali, tetap melanjutkan pekerjaannya masing-masing. Sementara di balik bukit, Gembala meratap karena beberapa ekor dombanya digondol kawanan serigala.
Cerita puluhan tahun lalu seorang Nenek, dan masih selalu berkesan di kepala saya.
Belasan tahun lalu, seorang wanita menghubungi saya, niatnya minta tolong meminjam uang, untuk keperluan keluarganya. Entah keperluan apa persisnya, saya sudah lupa, antara suami belum dapat pekerjaan, uang sekolah anak tertunggak, atau orangtua sedang sakit. Aku berikan. Tidak sekali, mungkin dua atau tiga kali, dengan alasan dan cerita ini-itu tadi. Saya pikir urusan pinjam meminjam benaran -yang etikanya harusnya dikembalikan- nyatanya tidak pernah sepeserpun berbalik. Tidak juga ada ba-bi-bu, basabasi, maaf, nyicil, atau gelagat positif. Baiklah, apa boleh buat, tutup buku, bad debt yang harus dihapuskan, terpaksa. Telan ludah.
Hebatnya, sang wanita tidak pernah berhenti menghubungi, dan tidak ada urusan lain apapun kecuali untuk kembali meminjam dan meminjam. Untungnya, hebatnya saya juga -hebat setelah tersakiti sih- untuk tidak lagi memberikan “pinjaman”, berapapun itu.
Tahun terus berjalan, kiriman pesan elektronik -kadang per bulan- tetap masih saja mengalir. Untuk belanja harian, uang sekolah anak, suami yang kembali menganggur, uang sewa kontrakan, bahkan untuk makan. Untuk tiket pesawat menengok ibunya yang meninggal dunia, dan yang kembali meninggal dunia enam bulan kemudian. Alamak! Padahal tidak satupun pesannya saya balas, namun juga tidak melunturkan semangatnya untuk terus “meminjam”. Hingga kini.
“Fool me once, shame on you; fool me twice, shame on me.”
*) Maaf, tidak bermaksud menceritakan aib, tidak juga untuk menceritakan kemurahan-hati, hanya cerita sandingan pas dengan cerita Nenek.
Masa itu, puluhan tahun lalu itu, Nenek sering kali mengulang cerita yang sama, mungkin karena sudah pikun, tetapi saya toh tetap saja selalu suka mendengarnya. Mungkin karena Nenek, walaupun mengulang-ulang, tidak pernah berbohong ketika menceritakan itu.
NH