Bayangkan Anda sedang berlibur di China, atau Canada, atau Finlandia. Dan Anda berkesempatan berkunjung ke kantor GeoPark di Jiuhuashan, atau Tumbler Ridge, atau Lauhanvuori-Haemeenkangas. Di sebuah papan besar, bergambar peta dunia, terpampang daftar lengkap UNESCO Global GeoPark (UGGp). Jari- jari Anda mengurut satu per satu deretan nama yang ada, lalu berhenti di sebuah nama. Ciletuh-Palabuhanratu GeoPark. Ribuan kilometer dari tanah air, di belahan bumi yang lain, Anda menemukan keIndonesiaan Anda. Anda mencolek turis di samping, lantas telunjuk Anda kembali mengarah ke nama tadi.
“Saya orang Indonesia.”
“Pardon me?”
“Indonesia. I am Indonesian.”

Saat ini ada 161 UGGp di total 44 negara, Indonesia menyumbangkan lima nama -di antara belasan geopark skala nasional- dan satu di antaranya adalah Ciletuh-Palabuhanratu GeoPark. Bukan urusan mudah untuk bisa mencatatkan nama di daftar UGGp tersebut. Ada sepuluh faktor yang menjadi focus areas sebuah taman bumi agar bisa mendapatkan predikat internasional kebanggan itu; natural resources, geological hazards, climate change, education, science, culture, women, sustainable development, local and indigenous knowledge, geoconservation. Faktor-faktor yang secara berkala divalidasi ulang oleh UNESCO agar supaya bisa tetap bertahan di list itu, mencerminkan begitu ketatnya seleksi, namun sekaligus juga menunjukkan begitu luasnya dimensi serta begitu besarnya peran dan manfaat sebuah geopark. “Memuliakan bumi, mensejahterakan masyarakat”.

Inilah GeoPark Run seri ketiga, rangkaian promosi mengenalkan taman bumi, setelah Minang dan Belitong. Eksebisi lari Ciletuh-Palabuhanratu Geopark pada Sabtu 21 November 2020 menempuh 50K, dari Palabuhanratu menuju Curug Sodong. Tiba sehari sebelumnya, sempat berkunjung ke kantor geopark, lumayan bertambah pintar sedikit dari kayanya informasi di kantor yang nyaman itu (“Ciletuh menjadi bukti awal munculnya Pulau Jawa, 60 juta tahun yang lalu”), sambil mengintip-intip kemungkinan seri berikutnya di geopark sini-sini, atau di sister-geopark (macam sister-city) sana-sana. Siapa tahu. Dihin pinasti anyar pinanggih.

Lepas sholat Jumat, rombongan diantar menuju ke desa adat, Kasepuhan Adat Banten Kidul, tepatnya di Kasepuhan Sinar Resmi. Suasana nyaman sudah terasa begitu turun dari mobil, empat ibu-ibu menyajikan harmoni suara indah lewat pukulan berulang-ulang alu dan lesung (sebelum dirusak kemerduannya oleh rombongan yang mencoba), plus alunan angklung. Abah Asep dan keluarga menyambut kami di teras pendopo; Ibu membebatkan kain ke pinggang perempuan, sementara Abah dan putranya, Kang Jago, memasangkan ikat kepala ke laki-laki (sebagian kami terus mengenakannya hingga garis finish, sore keesokan harinya.) Dijamu aneka penganan dan makan siang beralas karpet, pilihan tiga jenis nasi (putih, merah, ungu), ayam goreng, sayur asem, ikan asin, lalapan, sambal. Kalap sudah, lupa-kawan-lupa-lawan, bon appetit, bolak-balik-nambah-ini-itu, all you can eat, free flow. Ibu memandang kami dengan sumringah (mungkin plus iba, “kesian ya orang-orang kota ini…”), sembari berpesan untuk tidak makan sambil berdiri atau berjalan-jalan, dan tidak menyisakan nasi di piring (aku teringat pesan yang sama dari ibuku dulu.)

Padi mengajarkan banyak filosofi mengenai kehidupan, sekitar dua jam Abah Asep bercerita, setelahnya. Dalam suasana penuh atmosfer keramahan, keceriaan, ketulusan (“kapan terakhir kita tenggelam dalam suasana lengkap seperti itu?”), Abah menuturkan tentang padi yang hanya ditanam dan dipanen setahun sekali (“ibu-bumi adalah layaknya perempuan yang hanya mengandung dan melahirkan setahun sekali”), yang hanya dikonsumsi warga kasepuhan serta tamu namun tidak diperjualbelikan, yang hasil panennya akan disimpan di dalam lumbung padi (“leuit”) untuk jangka waktu panjang bahkan hingga berpuluh-puluh tahun tanpa mengalami kerusakan, yang nyatanya ada lho jenis padi lelaki dan padi perempuan (“tinggallah setahun di kasepuhan untuk belajar ini”). Banyak cerita-nasihat-petuah Abah yang lain, yang belum sempat dituangkan, atau juga dituturkan, namun waktu harus menyudahi keakraban, untuk kami pamit, untuk -mungkin- kembali lagi, satu saat. Pintu selalu terbuka, janji Abah, dalam pengertian sebenar-benarnya, pintu pendopo selalu terbuka.

Antara Palabuhanratu dan Curug Sodong adalah petualangan kaki, adalah keceriaan hati, adalah ngosngosan berkalikali. Antara Palabuhanratu dan Curug Sodong tentang bau ikan asin yang dijemur, tentang jaring-jaring jala ikan yang tergantung, tentang kapal-kapal nelayan yang tertambat. Antara Palabuhanratu dan Curug Sodong sejenak berhenti dan bertegur sapa dengan warga, sejenak berhenti dan berfoto dengan rombongan pemotor, sejenak berhenti dan bercengkerama di water station dengan orang-orang baik hati. Antara Palabuhanratu dan Curug Sodong melalui deretan rumah dan warung penduduk, melintasi bentangan ladang dan sawah menghijau, menyusuri punggungan demi punggungan bukit dalam latar pemandangan Samudera Hindia berhias ratusan bagan bambu. Antara Palabuhanratu dan Curug Sodong adalah panorama mega amphitheater Ciletuh, hamparan pasir putih dan abuabu di atas pantai berbentuk tapal kuda, air terjun bertingkat di antara dinding-dinding tebing batu berumur jutaan tahun. Antara Palabuhanratu dan Curug Sodong adalah jalan rata mendatar, jalan berkelok-kelok menikung, jalan menanjak tajam melawan gravitasi, jalan menurun curam menguji lutut. Antara Palabuhanratu dan Curug Sodong adalah semilir angin laut yang membelai, guyuran hujan deras tengah hari yang menyegarkan, awanmendung dan matahari yang terus berkelahi. Antara Palabuhanratu dan Curug Sodong adalah Gua Lalay, Pantai Loji, Vihara Dewi Kwan Im, Titik Pandang Teluk Ciletuh, Puncak Darma, Curug Cimarinjung, Pantai Palangpang.

Bayangkan turis tadi membelalakkan mata, memandang Anda. Tangannya segera meraih tangan Anda, menggenggamnya erat-erat, dan hangat.
“Anda pastinya bangga menjadi orang Indonesia.”

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

2 replies on “CILETUH-PALABUHANRATU GEOPARK RUN 2020 (ASAL USUL)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.