“Pengin jadi pelari spesialis danau?” Gak mesti danau juga sih, semua yang layak untuk ditualangi aja. Bisa antar kota seperti biasanya, bisa juga antar pulau, atau antar-antar lainnya. Pokoknya selama cocok dan indah (ah, selalu indah kok), ya bungkus. Sekeliling Danau Maninjau, Sumatera Barat berjarak 48K. Sungguh “pas”. Untuk jadwal berlari (dan berjalan) dari pagi sampai sore.
Subuh, langit masih gelap, berkendara sekitar 45 menit dari penginapan di Bukit Tinggi, sambil membincangkan ayam pop semalam yang enaknya kebangetan. Mengarungi jalur Kelok 44 yang ngetop itu, terus menurun, sembari menghitung mundur, 44 43 42 dan seterusnya (kirain cuma istilah, macam JKT48, gak taunya beneran ada 44 kelokan). Dan persis lepas turunan terakhir, kelok 1, berbelok ke kanan sedikit, masuk pelataran parkir Sekretariat Kerapatan Adat Nagari (KAN), dekat SMAN 1 Tanjung Raya itu lho, di sanalah runventure -bersembilan pelari, CaptAdi OmAdem CF Anne Babab Arif Iwa Salmond NH, ditemani DaImam dan NiIcha yang penyabar- kali ini akan dimulai.

Tanggal 24 September 2022, pukul 07.13, suhu 20 derajat Celcius. Sedikit kesiangan, tapi ademnya ideal, dan mewah. Tanpa matahari, cenderung mendung. Gerimis tipis, sangat tipis, “Gua gak keberatan kalau gerimis gini terus-terusan, sampai selesai larinya”. Seperti biasa, melintasi pemukiman warga. (Bosan juga dengan kalimat ngulang-ngulang begini seperti cerita-cerita runventure sebelumnya, tapi ya mau gimana lagi, memang begitulah kenyataannya. Eh, tetap ada kok bedanya. Sapaannya dong, “Pagi Uda, pagi Uni, pagi Mak”. Ah, Indonesia terbaeklah!) Aspal hitam basah diapit hamparan warna warni hijau kuning coklat sawah di kiri kanan jalan. Petani terbungkuk membajak. Kawanan bangau beterbangan. Langit putih, digelayuti awan tebal putih. (Jangan lupa berfoto gaya dulu, bertegur sapa dulu, berchit chat dulu, hidup gak cuma soal lari kok, don’t take it too seriously.) Berlari santai melawan arah jarum jam, dengan danau dan tambak-tambak yang tersebar di permukaan danau, di sisi kiri. Gunung Singgalang memandang dari jauh, “What’s on your mind, Runners?”



Perlahan mulai memutari danau, dari sudut sempit di antara baris pohon-pohon rindang, tampak tiga menara menjulang di seberang danau, lokasi start tadi. Sekitar 14K sudah ditempuh. Gerimis tipis sudah lama berhenti. Matahari masih bersahabat. Singkat cerita, 3 jam berlalu, tiba di KM21, jarak half marathon, lumayan. Bukan hanya jaraknya, tapi terutama persinggahannya, sebuah warung kecil sederhana di pinggir kanan jalan. Kopi hitam kentalnya yang nikmat, disruput berteman pisang goreng yang masih panas-panasnya. (Yang saking panasnya, menikmatinya harus sambil merem melek plus lidah terjulur, model barongsai.) Sebuah mobil bak terbuka yang tengah menurunkan durian di seberang jalan, menyakitkan mata, menciderai hati. Bersalah rasanya kalau tidak dihampiri dan diboyong ke warung tuh durian. Alhasil, tiga durian dibelah di warung -dengan bantuan bundo warung- dan dituntaskan urusannya di tempat. “Nikmat mana lagi yang kau dustakan.”
(Maninjau tengah kebanjiran panen durian, warung dan etalasenya, durian, mobil-mobil bak terbuka lalu lalang, durian, pohon-pohon sepanjang pinggir jalan danau, durian. Durian Durian. Pantes aja kalau Duran Duran bernyanyi: “But I won’t cry for yesterday There’s an ordinary world Somehow I have to find And as I try to make my way To the ordinary world I will learn to survive”)
Matahari di atas kepala, kembali ke sifat aslinya. Panas mulai menyengat. Keringat membasahi tubuh. Jalanan tidak lagi melulu rata. Ada turun dan naik. Yang dimbangi dengan berlari dan berjalan. Sambil sesekali mengintip harap ke seberang danau sana, mencari-cari menara menjulang di kejauhan, menebak-nebak masih seberapa jauh. Jalanan lengang. Kalaupun di satu dua titik sedikit ramai, pengendaranya -motor dan mobil dan mobil besar- adalah orang-orang baik hati yang mencintai para pelari, tidak membunyikan klakson, rela memberi jalan, dan sabar tidak menyerobot.


(CaptAdi mengatakan, itulah cerita-cerita yang akan dia sampaikan ke anak cucunya satu saat nanti, tentang keindahan berlari-persahabatan berlari-petualangan berlari. Runventure. Dan bukan cerita tentang personal best-narsisme-kepuasan semu sesaat.)

KM41, mendongak sedikit melihat bangunan rumah gadang indah Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka (“Haji Abdul Malik Karim Amrullah”), di kanan jalan, adalah kebahagiaan tersendiri. Lega. Tinggal sedikit lagi. Pukul 4 sore, satu per satu pelari memasuki titik finish, titik start tadi pagi. Mengganjal dulu dengan sate khas Padang di pelataran parkir Sekretariat KAN, untuk perut yang belum terisi sejak pagi, -pisang goreng dan durian tidak diperhitungkan- sambil bersepakat untuk kembali lagi malam nanti, ke ayam pop yang enaknya kebangetan itu.
NH