Anakku,
Ayah -bersama seorang fotografer baik hati, BliRudi- baru saja menerbitkan sebuah buku. Foto dan kisah tentang 18 ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) yang terpasung dan terkurung di Bali. Tetapi Ayah menyadari ada yang salah. Ternyata, Ayah salah.
(Ini bukan tulisan nyinyir, sinis, atau sarkasme, Kamu percaya Ayah kan Nak?, ini benar-benar sebuah pengakuan sejati atas kesalahan.)
Ayah salah karena berpikir bahwa nama NH “menjual”, sosok seorang NH akan selalu “dibeli” orang atau teman. Teman di sosmed, teman lelarian, teman (mantan) pecinta alam, (mantan) teman di dunia kerja. Nyatanya tidak. “Who do you think you are?” Ayah salah, dan sebenarnya malu untuk mengakui kesalahan ini. Tapi Ayah legowo menerimanya, mengecilkan kembali kepala, menurunkan kembali dagu, mengembalikan kembali Ayah ke bumi. (Ayah sempat menemui Nenekmu, sekadar ingin mendengar kembali ceritanya tentang NH bocah anak kampung cengeng ingusan yang sakit-sakitan yang Sang Kehidupan masih berbaik hati memberinya kesempatan hingga saat ini.)
Ayah salah karena berpikir bahwa isu ODGJ -dalam foto dan tulisan- akan menarik orang-orang untuk mengetahui lebih jauh. Nyatanya, Ayah naif. Apa kepentingannya orang-orang dengan isu itu? Apa perlunya orang-orang menengok buku “mewah” yang dicetak susah payah itu? (Lain ceritanya dengan SupirOnLine -yang nyambi di antara shift kerjanya di restoran fast food- yang minggu lalu mengantarkan Ayah, ketika mendengar kata ODGJ di percakapan Ayah di HP, dia lantas bercerita tentang abangnya yang juga “sakit”, dua kali sempat masuk RSJ Grogol, rutin merawat -diselingi paksaan dan rayuan- agar Abangnya mau minum obat, di tengah penyakitnya yang tak kunjung sembuh.)
Ayah salah karena berpikir bahwa tagline “hasil penjualan buku ini sepenuhnya akan digunakan untuk membantu perawatan, pengobatan dan bantuan penghidupan ODGJ” akan meluruhkan hati banyak orang untuk turut mendukung. Idealisme Ayah mungkin sudah usang, dan bodohnya, seolah Ayah memaksakan dunia bayangan yang ada di kepala Ayah sama dengan dunia nyata yang kita tinggali sekarang. (Dan Ayah diingatkan kembali untuk tidak bisa menutup mata bahwa setiap orang punya dunianya sendiri, punya cara pikirnya sendiri, beserta -pastinya- jalan kebajikannya sendiri, termasuk dalam hal berdonasi, “so, who am I to judge them?”)
Anakku,
Terima kasih, untuk selalu setia mendengarkan cerita Ayah. Terima kasih, karena Ayah masih berkesempatan menulis untukmu, membagikan unek-unek yang ada di kepala dan di dada, dan sekali ini, bisa mengaku bersalah. Pada akhirnya, “Hope and Freedom” ini telah mengajarkan Ayah banyak hal, sejak awal tulisan pertama diketik di sebuah bukit kecil di Bali, proses pra-cetaknya yang ditolak sana-sini, tersendat macet, hingga ke masa penyebarannya saat ini. Mungkin masih akan banyak pelajaran ke depannya, entahlah, Ayah tidak tahu.
Ayah hanya berharap, semoga saja Ayah tidak lagi melakukan kesalahan.
Salam,
Ayah