Aku jatuh cinta pada kata-kata, dan kerap mengingat kelebat bayangan masa kecilku berteman mainan tentara plastik kecil, bermain perang-perangan di sebidang tanah sempit di teras rumahku, sendirian. Karenanya aku menulis puisi dan fiksi. Kalau akhirnya aku juga menulis soal investasi saham, mungkin hanya karena sayang saja kalau isi kepala disimpan sendiri, mungkin ada gunanya kalau bisa dibaca orang. Kalaupun tidak berguna, paling tidak sudah membantu meringankan beban otak, mengosongkan sedikit ruang untuknya, agar bisa terus berputar. Juga menulis soal lelarian, adalah “me-time” lanjutan setelah lari panjang. Semacam pelengkap dan penyempurna, complement sekaligus supplement. Bertualang lari dengan otot, dan bertualang kata-kata dengan otak. Yang keduanya perlu melibatkan hati. Kalau tidak, lalu apa artinya lari buatmu?
(Mungkin untuk kita para kaum introvert, ada baiknya selalu menulis, agar isi kepala -dan terutama hati- bisa diungkapkan, tanpa harus selalu berbagi kepada orang lain. Simpan saja di “secret garden” masing-masing, entah di buku diary atau di gadget yang password-nya terkunci rapat. Paling tidak isi kepala dan hati kita sudah dititipkan pada barisan kalimat-kalimat yang selalu setia menanti dan menemani kita. Memang begitulah gunanya kata-kata diciptakan, bukan?)
*
Katanya, sebaiknya, pencapaian seseorang itu tidak usah diukur dengan membandingkannya dengan pencapaian orang lain, tetapi cukup dibandingkan dengan pencapaian sebelumnya dari dirinya sendiri. You versus you. Me versus me. Terdengar lebih ringan dan nyaman, ya ya, dibanding harus mengukur diri dengan capaian orang-orang lain yang tidak ada batasannya, multi dimensi, multi semesta. Kaktus di gurun tidak pernah berpikir perlu seharum melati, rajawali penyendiri tidak pernah iri dengan rombongan merpati. Hidup tidak perlu dan tidak seharusnya seberat itu. “If it feels like it’s you versus the world, chances are it’s really just you versus yourself”, begitu tulis Mark Manson.
Dan sekarang aku menulis soal kemanusiaan, humanis, begitu istilah orang. (Aku tidak mengerti apakah cocok dan pantas dengan istilah itu.) Bagaimanapun, inilah petualangan baruku, capaian berikutnya dari anak tangga hidupku, menulis tema yang sebelumnya tidak pernah ada gambarnya di kepalaku. Awalnya, ketika mendapatkan ajakan menulis buku mengenai orang dengan gangguan jiwa (odgj), aku tak percaya, aku gemetar. Benarkah? Sanggupkah? Akan seperti apakah bentuk tulisannya, dan bukunya? Berapa odgj yang harus kutemui? Bagaimana cara berkomunikasinya? Perlu menetap berapa lamakah di lingkungan mereka? Seminggu? Sebulan?
Nyatanya aku hanya menemui satu odgj dalam kurungan bilik kotor empat tahunnya. Aku hanya menemukan sepotong rantai besi kokoh kosong yang dikaitkan ke tiang beton. Aku hanya menatap gubuk dan dipan berdebu yang ditinggal penghuninya. Tetapi aku ingin menulis, harus menulis, tetap menulis. Dengan data-cerita yang tersedia, dan gambar-potret yang ada. Dengan ruang kepala yang tersisa, dan pintu hati yang terbuka.
*
Di teras sebuah penginapan sederhana dengan pemandangan alam terbuka, di bukit kecil di Rangkung, Bali, 14 Oktober 2021, di pagi yang sejuk dan tenang, aku mulai menulis…
NH