Mereka masih berlari. Para pelari masih terus mengayunkan langkah, besar dan kecil. Dalam kurungan kabut. Angin malam Ruteng, pada ketinggian 1.000 mdpl yang sejuk, menyatu dalam kabut, bersekutu menjadi dingin yang mengigit. Aku mengarahkan senter di kepalaku, ke jarak pandang lebih dekat. Namun, sorot cahaya tajamnya tidak mampu menembus kabut tebal malam. Pandanganku kabur. Yang terlihat hanya jarum-jarum air berjatuhan di depan mata, bersinar seperti kilat-kilat kecil yang patah.


Semesta berbaik hati, hujan deras yang sebelumnya mengguyur sekitar satu jam lebih akhirnya reda juga. Meninggalkan aspal yang basah, udara yang nyaman, dan kehangatan suasana. Pukul 5 sore kurang 8 menit, Jumat, 28 Oktober 2022, Bupati Manggarai melepas para pelari dari garis start di Kampung Cancar. Jelajah Timur 2022 – Yayasan Plan Indonesia di Flores, Nusa Tenggara Timur, menempuh rute Ruteng – Labuan Bajo sejauh 113K dimulai. Anak-anak sekolah berwajah polos, innocence, dalam seragam putih merah dan pramuka, berbaris berjarak rapih sepanjang pinggir kiri kanan jalan, memagari kami, memperhatikan para pelari melintas hingga perlahan menghilang. Petang masih tersisa sekitar satu jam, cukup untuk membalas keramahan warga yang ramai bergerombol di depan rumah, tersenyum-bersorak-melambai, menikmati hamparan sawah ladang dan pemandangan gunung indah di kejauhan. Berlari ceria, bercengkerama, bercanda.

Dan ketika gelap malam jatuh, kami bernyanyi.

“Kau seperti nyanyian dalam hatiku
Yang memanggil rinduku padamu, oh
Seperti udara yang kuhela
Kau selalu ada…”

Check point pertama di KM27, tidak sampai empat jam untuk mencapainya, setelah berlari diselingi berjalan, mendatar diselingi naik turun. Aku sempat membatin, menyesal karena sebelumnya tidak menitipkan drop bag kaos kering untuk ganti di CP ini. Udara dingin, beruntung masih dapat diimbangi oleh kehangatan hidangan makan malam, soto ayam dan bubur kacang hijau. Istirahat sejenak, kemudian melanjutkan perjalanan, dalam balutan kaos basah.

Malam semakin larut, dan sejuk, di ketinggian Ruteng. Lalu, entah dari mana, seolah muncul tiba-tiba, kabut tebal mengurung. Dingin yang mengigit langsung menyergap, menerpa kaos basah, menembus kulit berkeringat. Jarak pandang memendek. Senter di kepala tidak lagi berdaya. Namun malah tercipta sebentuk keindahan baru, jarum-jarum air yang berjatuhan, kilat-kilat kecil yang patah. (“Pernahkah kamu berlari dalam kabut?” atau, tepatnya “Pernahkah kamu berlari ditemani kabut?”)

Kabar baiknya, lintasan menurun panjang, bisa banyak berlari, terus menerus, dalam kecepatan nyaman. Meninggalkan ketinggian seribu, menuju ketinggian seratusan mdpl. (Apa itu ultra marathon? Bukan, itu bukan melulu tentang berlari. Ultra marathon adalah tentang pengalaman melintasi jalan dan daerah, bertegur sapa dengan warga, sendiri atau bersama-sama, keindahan pagi dan senja, mengarungi gelap dan terang, menikmati dingin dan panas, mengelola daya dan rasa, berteman luka dan duka, mencari kesenangan dan kedamaian, menemukan diri dan semesta.)

Argh, hanya saja saat ini di kepalaku hanya ada satu hal, sepotong kaos kering. Aku begitu mendambakannya. Dan itu ada di drop bag yang aku titipkan di check point kedua.
Hari sudah berganti, menjelang pukul 1 pagi, papan kecil biru yang di tunggu menyambut, penanda lokasi CP2, KM49. Akan ada cukup waktu untuk beristirahat, makanan dan minuman hangat. Nyaris separuh perjalanan sudah tuntas, let’s collect this small win, appreciate this small win, celebrate this small win.


We celebrate every small win”, kami bertiga, Anne, Dika, NH, terus bersama sejak awal start, sepanjang jalan. Kalimat sederhana itu membawa kami menempuh penggalan dua puluh kilometer berikutnya, usai meninggalkan CP2 pada pukul 3 pagi. Berlari dan berjalan, pada rute mendatar, sambil menantikan sinar matahari pertama terbit, “how I miss you, after the dark and cold cold night”. Lalu, kehidupan baru lahir.

Morning has broken like the first morning
Blackbird has spoken like the first bird
Praise for the singing, praise for the morning
Praise for them springing fresh from the world

Kami bercerita, tertawa, bernyanyi. Bersiap, lantaran sebentar lagi ujian berikutnya mengadang, lintasan tersulit Jeltim 2022. Tanjakan dan hanya tanjakan, nyaris tanpa bidang datar, kembali ke ketinggian 700mdpl, sejauh 7KM untuk mencapai CP berikutnya di KM79. Dan sekali lagi mantra ajaib itu memberi tenaga, untuk kepala dan untuk kaki. Merayakan setiap kemenangan kecil, adalah ungkapan rasa syukur, tidak menjadi tamak, sebuah bentuk self-respect.

Matahari pukul 7 pagi mengiringi awal pendakian. Berjalan tertatih dan terbungkuk, menarik dan menghembuskan napas panjang. Setiap kali mendongak dan mendapatkan pemandangan tanjakan tajam, entah lurus atau menikung, hanya sanggup berujar, “Masya Allah”. Jalani dan terus jalani. Tidak ada pendakian yang tak akan berakhir, tidak ada penderitaan yang tak akan berakhir, “this shall too pass”, seperti juga tidak ada kesenangan yang tak akan berakhir.

Dua jam pendakian, dan akhirnya CP3, “again, let’s celebrate every small win”, nikmati dan beristirahatlah. Bagian tersulit telah berlalu. Namun stamina telah banyak terkuras, otot-otot tubuh sudah memberontak, cidera dan blisters mulai mengintai. Kami memutuskan untuk menuntaskan penggal terakhir perjalanan, 34K menggenapi 113K, dengan berjalan kaki. Waktu masih sangat bersahabat -waktu bukan untuk ditaklukkan- untuk mencapai finish di garis pantai Labuan Bajo. Jalanan panjang meliuk-liuk turun sebelum memasuki kota. Udara tidak lagi sejuk. Matahari adalah penguasa hari. Keringat kembali mengucur, mengalir perlahan, jatuh menyatu ke ibu bumi…


Darah yang menetes ke tanah adalah simbol menyatu dengan ibu bumi. “Lukai, buatnya berdarah!”, bisikan ramah namun serius itu menggoyahkanku, “Benarkah?” Bapak itu meyakinkanku, “Pukul sekerasnya.” Begitulah Tarian Caci, tarian perang Mentawai. Pagi itu, 28 Oktober 2022, warga Desa Wae Codi -desa yang bakal mendapatkan pembangunan proyek akses air bersih, bersama dengan Desa Latung- tumpah di lapangan tanah kering di bawah terik matahari. Bapak-bapak-mama-mama-anak-anak, menyambut antusias rombongan pelari. Melingkar menari, bersorak bernyanyi, seraya menyuguhkan makanan khas. Aku menggenggam erat ujung pegangan kulit cemeti melengkung. “Lawanku”, pemuda telanjang dada, bertattoo, bersarung, lengkap dengan pelindung wajah dan kepala dari kain dan kulit, memegang busur bambu besar, dan perisai bundar dari kulit sapi yang keras. Jarak kami hanya sekitar dua meter saat pertarungan akan dimulai. Kami menari. Dalam beberapa gerakan, cemetiku mengenai tubuhnya. Pertarungan selesai. Tanpa luka, tanpa darah. Dan kami kembali menari.

NH

📷 by JelajahTimur2022PlanIndonesia

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.