Rudi Waisnawa mungkin tidak akan pernah mewujudkan mimpinya, bahwa satu saat karya fotografinya dalam bentuk buku bakal terpampang di rak toko buku, lantaran penerbit buku besar itu tiba-tiba mundur dari rencana awal. Entah karena alasan yang mana yang paling jujur, isu ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) terpasungnyakah yang bakal menciderai kesohoran pulau surga, atau hitungan bisnisnyakah yang bakal melambungkan harga jual untuk buku “mewah-kelas-coffee-table-book” dengan “market” yang sangat terbatas.
Namun semesta mengasihi orang-orang keras kepala, terkadang dengan mencarikan jalan untuk mereka. Dan itu yang membuat istrinya terisak, ketika pada akhirnya buku itu dicetak. “Hope and Freedom”, adalah sebuah buku “masterpiece” -karya besar, paling tidak untuk segelintir orang yang yang tersentuh-, sebuah dark-book, kelam, menusuk jiwa, menyakitkan mata, membasahkan kornea. Sebuah buku foto kisah tentang ODGJ yang dipasung, dirantai, dikurung, dipinggirkan, diasingkan, ditelantarkan, dan ironisnya di pulau yang sering diimpikan untuk liburan dan menetap, Bali.
Rudi tidak mencari sensasi, buat apa, toh dia fotografer yang sudah dikenal di Bali. Kalau demi mendapatkan materi dari buku, berapa besar sih royalti, lagipula sejak awal hasil penjualan buku ini memang diperuntukkan perawatan, pengobatan dan bantuan penghidupan ODGJ. Lalu kalau soal mimpi awalnya tadi, rasanya sudah rela ditinggal di rak melompong di toko buku (dan sebagai gantinya terpampang di “rak buku” yang jauh lebih luas, dunia digital).
Rudi adalah seniman (dia tidak yakin, padahal mana mungkin foto-yang-berbicara tidak dilatari jiwa seni di baliknya). Rudi adalah pemberontak (lihat saja sepak terjangnya di isu-isu sosial setempat dan tattoo-nya yang menyembur hingga ke lehernya). Dan Rudi adalah “pendendam” (kalau yang satu ini sesuai dengan pengakuannya sendiri).
Bertahun-tahun terlibat dalam penanganan para ODGJ, puluhan jumlah yang pernah dikunjungi, telah membekas di hatinya. ODGJ yang hidup dibalut kemiskinan, dikurung di bilik sempit, diikat di gubuk reyot, dirantai di teras rumah, “ODGJ yang berjalan menyeret balok ukuran satu meter yang dirantai ke kakinya, ODGJ perempuan kurus kering terbujur kaku di lantai penuh kotoran dari kaki hingga kepala di samping ayahnya yang terduduk diam dan ternyata buta”, telah membuatnya memendam api amarah, menyayat dalam kesedihannya. Menyaksikan langsung para ODGJ, merawat, memotret, dan -bayangkan- berapa kali matanya -dan jiwanya- terpapar hasil jepretan itu, setiap detail ODGJ, setiap ekspresi ODGJ setiap kali dia memeriksa kembali foto-foto itu. Tidak, tidak hanya membekas, namun juga telah meninggalkan luka di hatinya. Dan dendam itu. Luka dan dendam yang harus disampaikan kepada dunia, agar masyarakat tahu -dan syukur syukur memberi perhatian- kepada para ODGJ.
Rudi adalah seorang fotografer, dan itulah pilihan sikapnya.
NH