Bertukar Tempat
(Karya: Surya Rizky)

Aku sering bertanya-tanya mengapa derita memilih aku, diantara miliaran manusia dalam bumantara. Jika memang ingin menguatkan pundakku, mengapa harus selamanya begini?
Bukankah setiap yang berawal pasti akan berakhir? Apakah bagi manusia seperti kami satu-satunya jalan keluar ialah kematian? Akhir dari seluruh penderitaan, awal dari secercah harapan dari kebahagian.

Ya, aku memang tidak pernah meluaskan pandanganku. Pikiranku memang lebih sempit dari manusia manapun. Tapi pernahkah kau berpikir tentang orang-orang yang pergi ke rumah sakit untuk sembuh dan tidak kembali lagi, sedangkan kami menjajaki tempat yang sama secara berulang kali tetapi untuk tujuan yang berbeda, ialah tentang menghindari kematian dini.

Maka syukur mana lagi yang ingin kau ajarkan padaku?

Atau begini saja,

Bagaimana kalau kita bertukar tempat?
Kau berdansa bersama bahagiaku, dan aku memeluk semua masalahmu

Lalu kita lihat,
isak mana yang paling kuat
tangis siapa yang paling deras


Aku lega, mampu menyelesaikan seluruh puisi tanpa terhenti, tanpa tercekat. Sementara sosok di depanku, di layar instagram live, Kak Nuu menyeka air mata. (Hal yang aku lakukan sehari sebelumnya, saat mempersiapkan diri, membacanya, sendiri.)

Dua minggu sebelumnya, HPku bergetar, Kak Nuu mengirimkan kumpulan puisi-puisi yang ditulis oleh Iki -panggilan akrab Rizky- dengan sebuah kalimat singkat, “Saya belum sanggup baca semua.” Aku membukanya. Tiga paragraf pertama di pengantarnya langsung terasa menyesakkan dada.

Bagiku talasemia bukan tentang sejenis penyakit belaka
Ini tentang kisah anak manusia paling kentara
Tapi jangankan untuk bercerita
Sekadar orang bertanya “apa itu talasemia?” saja
Hatiku tak kuasa menahan amuk murka dan derita

Sungguh tak terhitung lagi berapa penolakan yang telah kuterima. Setiap malam, kupeluk erat kekhawatiran yang sama. Lalu, kubisikkan padannya “kau belum mampu menghancurkanku, dan aku masih baik-baik saja”. Tapi, trauma adalah perasaan yang tak pernah bisa dinafikkan manusia

Ruang dalam kepalaku sesak oleh raung tanda tanya
Apakah meminta kesembuhan seperti meminta neraka dihapuskan?
Dan entah mengapa setiap mendengar berita tentang kematian,
Ada satu pertanyaan yang selalu menuntut jawaban “giliranku kapan?”


Gerimis tipis sore mengguyur kelabu Jakarta, aku terpaku di koridor terbuka smoking-area, di antara gedung-gedung menjulang angkuh yang menghimpit. Aku terus menggerakkan jari, membaca satu demi satu puisi-puisi itu, menangkap kesedihan demi kesedihan. Dark. Aku tertegun. Termenung. Sekarang aku mengerti, setidaknya, mengapa Kak Nuu mengatakan belum sanggup membaca semuanya. “Kami, para relawan, juga sesakit itu.”


Nuu Husien, adalah bundanya anak-anak penyintas thalasemia di Aceh. Tahun 2011, berawal dari acara donor darah, yang lalu berlanjut untuk membuatnya menjadi lebih kontinu, membentuk komunitas Darah Untuk Aceh. Waktu kemudian mengenalkannya dengan thalasemia, “Begitu saya ketemu thalasemia, ini tidak sesederhana yang saya bayangkan, ini bukan hanya persoalan darah.” Ini soal minder, malu, keterbukaan, sedikitnya donor dan sulitnya dana untuk transfusi bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah, soal ketakutan dan penyangkalan. Mulai 2017, lantas mendirikan Rumah Kita, rumah singgah untuk para penyintas thalasemia yang tidak bisa rawat inap, yang hanya diperkenankan rawat jalan, sementara tempat tinggalnya ada di berbagai penjuru Aceh. For free, tanpa biaya -tentu saja- untuk anak-anak penyintas dan pendampingnya, dengan kapasitas -hingga saat ini- 12 kamar, fasilitas makan, plus antar jemput ambulance ke rumah sakit.

Perjalanan bertahun-tahun, dan Kak Nuu telah melewati begitu banyak kejadian dan pengalaman menguras air mata. Walaupun juga terselip beberapa momen kebahagiaan, terciptanya keterbukaan antar penyintas dan keluarganya, hingga anak-anak thalasemia yang mampu masuk sekolah kejuruan, kuliah dan lulus. Namun kepergian demi kepergian, kesedihan dan kegetiran, terus mengajarkan banyak hal. Kepergian-kepergian yang bukan lagi karena tidak ada ketersediaan darah -“Saya tidak akan memaafkan diri saya kalau itu terjadi”- namun karena banyak hal lain. Dan itu bukan hal yang mudah. Untuk penyakit yang tidak bisa sembuh, tidak bisa tranfusi, tidak bisa berobat, tidak punya biaya, untuk urusan yang terus menerus harus dilakukan berulang-ulang setiap 2 hingga 3 minggu sekali, anak-anak dari Aceh Utara, dari Bireuen, dari Meulaboh, dari berbagai daerah di Aceh.

“Saya tidak ingin lalai, tidak mau ada lagi hal yang saya lewatkan, bahkan untuk sekadar menggandeng tangan mereka, sebelum mereka pergi…”


Ah ya, ada sebuah cerita dari Kak Nuu, yang ditulisnya berdasarkan kisah sang anak thalasemia.

Thalassemia Diary

Aku anak bungsu dari 6 bersaudara. Bulan Mei 2017 lalu, usiaku genap 16 tahun. Aku menamatkan SMP tahun lalu dan tidak melanjutkan ke SMA karena kondisiku tahun lalu sangat drop, sehingga aku terpaksa tidak melanjutkan sekolah. Aku mau cerita kalau aku menderita thalassemia sejak usia 3 tahun, waktu itu tsunami…

Sebenarnya thalassemia bukan hal baru buat kami sekeluarga, karena sebelumnya kakakku sudah duluan menderita penyakit ini, dan kakakku lainnya juga menderita penyakit yang belum ada obatnya. Satu di antaranya sudah meninggal dunia pada tahun 2001 saat sedang duduk di bangku SMP kelas 1 dan aku tidak pernah ingat wajahnya, hanya mendengar cerita dari kedua orangtua dan kakak-kakakku. Aku sekarang tinggal berempat karena abangku hilang waktu tsunami tahun 2004, abang saat itu tinggal di pesantren daerah Ulee Lheu.
 
Ayahku, lelaki tua yang harus bekerja keras demi kelangsungan hidup kami semua, terutama aku dan kakakku yang harus tiap bulan bolak balik ke Sentra Thalassemia untuk transfusi. Beliau bekerja sebagai cleaning service di kantor gubernur. Tiap pagi selalu berangkat kerja dengan sepeda tuanya dan baju seragam yang diberikan oleh perusahaan tempat beliau bekerja, baju seragam yang lusuh, baju seragam yang kotor karena ayahku hanya pegang gagang sapu di sana. Ayahku yang pendiam itu sangat baik, beliau mau kerjakan apapun yang untuk kami sekeluarga, usia tuanya membuat beliau sering sakit dan terkadang aku memijitnya walau aku sendiri lemas apalagi  kalau hb-ku sudah rendah sekali.

Kondisi aku memang beda dengan kakakku, hb-ku lebih cepat habis. Kami selalu transfusi bersama dan biasanya kakakku yang urus berkas jaminan. Kakakku memang lebih sehat dari aku, lebih kuat karena hb-nya lebih banyak.
 
Hampir setahun aku menganggur, bosan juga sih…, makanya aku merencanakan mendaftar SMA yang dekat rumah aja agar aku gak terlalu capek atau aku bisa pulang saat sudah terasa sudah tidak enak badan, aku gak mau merepotkan keluarga apalagi kedua orangtuaku. Aku sebenarnya suka iri dengan kakakku, dia bisa sekolah tinggi…, sudah kuliah di universitas ternama, kakakku nanti bisa jadi guru. Sekarang aja sedang praktek di sebuah SMA, hemm….

Oiya…, hampir lupa aku cerita tentang mamak kami yang juga bekerja. Mamakku itu juga wanita karir, pergi pagi pulang sore bahkan kadang lembur juga. Mamakku bekerja di pendopo gubernuran Aceh. Sebagai apa? Ya, sebagai cleaning service juga.
 
Sekarang kami tinggal di dekat sebuah sekolah negeri di Banda Aceh. Ini kepindahan kami yang kedua selama 2 tahun ini. Rumah sewa kami banyak dilalui anak-anak dan aku berencana buka kios kecil, mau jualan! Rasa bosan dan keinginanku untuk membantu orangtua, doain ya…

Ini ceritaku.

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.