“Nak, ayo bangun, katanya mau lihat pelari.” Wildan membuka matanya yang masih mengantuk dengan enggan.
“Tuh temantemanmu dah di depan, nungguin pelari-pelari Afrika yang katanya seperti kijang itu.”
“Tapi Bu, aku mau ketemu Kapten Amerika.”
“Lha, ya ndak ada toh Nak. Sana cepat gabung sama temantemanmu.”
Bercelana pendek dan kemeja kotakkotak, bocah umur tujuh tahun itu berdiri di ujung barisan belasan anakanak, memanjang di pinggir jalan aspal depan rumahnya. Satupersatu pelari melintas di depan anakanak itu, yang bersorak memberi semangat dan menyodorkan tangan untuk ditepuk. Toosss! Seru sangat! Wildan sekalikali turut menepuk tangan para pelari itu.Setengah jam berdiri, tibatiba mata Wildan menyipit, dan kemudian terbelalak. Jantungnya berdegup lebih keras, lebih cepat. Dari jauh dia melihat gambar bintang yang sangat dikenalnya, berpadu dengan garis berwarna merah dan putih. Semakin lama semakin mendekat. Dan begitu pelari berkaos Kapten Amerika itu mendekat dan mengangkat tangannya, Wildan langsung menepuknya. Dari mulut mungilnya terucap, “A-me-ri-ka.”

Persis setelah “Kapten Amerika” berlalu, gerimis mulai mengguyur, membubarkan sebagian anak-anak itu. Wildan berlari masuk ke rumah. Dengan rambut sedikit basah dan mata berbinar-binar, dia berujar, “Ibu…”
Ibunya melirik sebentar dan melanjutkan menyiapkan makan pagi.
Malam itu, dalam tidur nyenyaknya, Wildan bermimpi sedang berlari, memakai kaos kesayangannya. Dan ketika melintas di depan rumahnya, dari pinggir jalan, Ibunya melambai dan berseru, “A-me-ri-ka.”
(Terimakasih untuk Wildan beserta ribuan anak dan warga Borobudur Marathon untuk sambutannya yang luarbiasa…)
NH
Like this:
Like Loading...
Related