Naila, Kamu masih ingat surat-suratmu dulu? Apa saja ya isinya? Aku sudah berusaha mengingatingatnya, tapi tetap saja tak mampu. Mungkin Kamu bisa bantu Aku. Sebut saja satu, sudah cukup untuk membuka sumbat di kepalaku.
Naila, yang Aku ingat, Aku sejenak melayang ketika sore itu memegang surat pertamamu. (Dan surat-surat kedua ketiga kesepuluh dan kesekian puluh.) Belum pernah Aku terima surat sebelumnya, apalagi dari perempuan. Oh gak, Aku gak ge-er kok, percayalah. Lagian Aku gak suka dibilang ge-er, kata yang buatku semacam pelecehan. Tapi kalau rasasenangluarbiasa kan gak bisa Aku sembunyikan, dan tak mau juga Aku sembunyikan. Aku ingat selalu buru-buru membalasmu, berharap surat berikutmu.
Naila, saat ini, Aku ingin sekali menulis tentang Kamu, tentang Kita. Jangan bertanya, ada apa dengan Kita? Entahlah, Akupun tak tahu. (Atau Kamu tahu?) Aku hanya ingin menulismu. Mungkin dari sana akan ada cerita ada apa dengan Kita. Aku butuh sentuhanmu, untuk mengarahkan jari-jariku.
Naila, yang Aku ingat, Aku suka tulisan rapihmu, di atas garis-garis halus kertas robekan buku pelajaran SD kita. Bukan kertas berparfum wangi. Ya ya, kertas-kertas hanya perantara, yang setelah dibaca, disimpan, menguning, dan pada saatnya lapuk dan hancur. Tapi yang Kamu tulis, selalu ada di ingatanku. Seharusnya. Di salah satu sisi kepalaku dan salah satu sudut hatiku. Hanya saja perjalanan jauh empatpuluhtahun telah menimbunnya dalam-dalam. Aku sungguh butuh Kamu, membawaku ke masa-masa itu.
Naila, kamu ada dimana?
NH