Dalam suatu perang sengit di suatu jaman baheula, seorang serdadu terluka parah dengan anak panah tertancap dalam, sedikit saja di samping jantungnya. Dibawalah sang serdadu ke tenda P3K, dan seorang tabib bersiap mengobatinya. “Panah beracun, gawat ini, perlu penanganan segera, Du”, kata Tabib. Sambil mengerang kesakitan, Serdadu mengangkat tangannya, “Tahan Bib, jangan lakukan apapun, jangan cabut anak panah ini. Aku mau terjawab dulu tiga pertanyaan ini sebelumnya. Siapa yang memanah aku, dari jarak berapa jauh dia memanah aku, dan berapa besar busur yang dipakai untuk memanah aku.”

Teman saya pernah bertanya (padahal saya tidak sedang mengajak), amankah memulai investasi sekarang? Bukannya tahun depan pemilu, tahun politik? Bukankah lebih baik menunggu dulu setelah pemilu selesai? Kadang saya meragukan pertanyaan-pertanyaan itu, apakah benar dilontarkan untuk dijawab, atau hanya sekedar menghibur diri, suatu pembenaran diri untuk tetap tidak memulainya.

Kalau pertanyaan-pertanyaan itu disampaikan untuk dijawab, mari lihat tiga pemilu terakhir. Mari menengok sejarah. Tahun 2004, 2009, dan 2014. Kenaikan indeks saham pada masing-masing tahun yang katanya tahun politik itu adalah 63%, 87%, dan 22%. Menjawab?

Tidak! Karena sejarah tidak selalu berulang (walaupun ada yang percaya itu), dan tidak ada jaminan bahwa tahun depan, tahun 2019 saham-saham akan naik lagi, seperti 3 tahun pemilu terdahulu. Jadi tidak boleh ada tuh pembenaran memulai investasi saham atau reksadana saham sekarang hanya garagara dulunya terbukti naik. Setuju!

Namun juga jadi tidak valid, tidak relevan, dan hanya mengada-ada belaka, kalau takut memulai investasi karena takut tahun pemilu. Got it? Fair enough, kan? Logika sederhana. Sungguh sederhana.

Argh, jangan-jangan lebih banyak dari kita sebenarnya hanya menghibur diri. Tepatnya, mencari alasan.

… Aku tinggalkan walau tanpa kerelaan

yang nyata kau tidak mengubah…

~ Mencari Alasan, by Exist.

Nanti sudah lewat pemilu sekalipun, masih menunggu kabinet dibentuk dulu. Menunggu lagi kinerja 6 bulan kabinet. (Eh kurang deh, kinerja 12 bulan kabinet saja.) Menunggu tahun berikutnya. Menunggu pemilu berikutnya. Menunggu blablabla dan blablabla. Seperti sang serdadu yang melontarkan pertanyaan dan keukeuh menunggu jawaban, sebelum bersedia diobati.

Bagaimana akhirnya nasib serdadu kita? Dia dikuburkan dengan panah tetap tertancap di dadanya…

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

2 replies on “PANAHLAH DAKU, KAU KUCARI

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.