Semua kisah bagus, layak dibesar-besarkan ~ Gandalf (The Hobbit : An Unexpected Journey)

“Kenapa sih masih nulis terus soal investasi dan saham? Kan dah gak di Bursa? Memangnya dapet apa sih?”

Beberapa kali dan beberapa waktu lalu, aku sempat membayangkan orang-orang berpikir seperti itu. Dan pada akhirnya terdengar juga kalimat itu terlontar kepadaku.

***

Di sebuah rapat sales, seorang manajer tengah menerangkan produk baru yang ditargetkan kepada para salesman untuk dijual kepada para customernya. Tampak wajah-wajah tidak nyaman, wajah-wajah yang terganggu “comfort zone”-nya. Kasak kusuk. “Menjual produk baru? Ditarget pula. Memang berapa sih komisinya?” Kira-kira begitu yang ada di kepala yang hadir di rapat itu. Hingga seorang memberanikan diri, mengangkat tangan. “Pak, kenapa kami harus menjual produk baru itu?” Sang manajer menatap tajam mata si penanya, dan menyapu seluruh mata yang hadir. “Pertanyaannya seharusnya begini, “Pak, apakah customer kita membutuhkannya?”. Ya, anda harus menjualnya, karena customer anda membutuhkannya!”

Terlalu sering kita hanya melihat ke diri kita sendiri. Kepentingan kita. Benefit kita. Kadang kita melupakan dan mengabaikan kepentingan customer kita, atau lawan bicara kita. Sekadar menyebut contoh. Sales sekuritas yang hanya mengejar komisi transaksi nasabahnya, sales asuransi jiwa yang hanya mengejar bonus jalan-jalan keliling dunia, kadang (atau malah bukan kadang) tidak peduli dengan kebutuhan sebenarnya dari nasabahnya. Atau apapun produk dan jasa yang kita jual, coba bayangkan apapun profesi kita tanpa kecuali, sering kali kita hanya berfokus ke diri kita sendiri.

Percayakah kita ketika kita balik fokus itu ke nasabah kita, dan hasilnya akan menjadi lain? Aku menjual saham atau reksadana atau obligasi, karena aku tahu masyarakat membutuhkan investasi. Mereka butuh dan aku mau. Aku menjual asuransi jiwa karena clientku butuh untuk jaga-jaga keluarganya. Dan aku mau keluarganya terproteksi. Jangan menjual produk dan jasa yang tidak dibutuhkan oleh customer kita, sebaliknya “juallah paksa” kebutuhan yang seharusnya memang menjadi kebutuhan mereka. Pendekatan yang rasanya jauh lebih tepat, lebih baik, dan lebih langgeng.

***

Aku memandang penanyaku. Tidak menjawab. Hanya tersenyum. Itu yang diajarkan kepadaku, dulu. Cukup tersenyum untuk pertanyaan yang tak ingin kaujawab.

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

2 replies on “AKU MAU KARENA KAMU, BUKAN AKU

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.