Rabu sore, matahari bersinar ramah di Bukit Rangkung. Angin dingin dari Benua Australia, yang telah berhasil menyeberangi Samudera Hindia, berhembus lembut tanpa penghalang. Bukit kecil Rangkung letaknya sedikit lebih tinggi dari area sekitarnya, cukup memberikan pandangan lepas ke jalan raya By Pass yang ramai, serta sebilah sisi timur garis pantai Pulau Bali dan Pulau Nusa Penida di kejauhan.

Kami berlima duduk di kursi kayu, di atas hamparan rumput hijau, dengan kopi panas dan pisang goreng sebagai pendampingnya. Obrolan tiga jam mengalir ke segala arah, segala tema, segala dimensi. Salah satunya, wejangan yang saya minta diulang kembali dari Pak Dewa, Sahabat Bali saya.

“Penderitaan sama dengan rasa sakit dikalikan penolakan”. (Persamaan yang sederhana namun saya mempercayainya, powerful, untuk lari dan untuk seharihari.) “Perbesar penolakan, dan penderitaan akan semakin besar pula. Hilangkan penolakan, nihilkan penolakan, dan penderitaan menjadi tiada.”

Kita sering mendengar, lari jarak jauh, khususnya ultra marathon, adalah mind game, permainan otak. Lari normal untuk manusia normal, maksimalnya adalah 42,195 kilometer, full marathon. Di atas jarak itu, tidak normal untuk manusia normal. Itu jarak untuk manusia ultra (istilahnya bukan manusia tidak normal, please, I am serious). Seorang pelatih lari pernah mengatakan kepada saya, bahwa dia punya program latihan marathon untuk anak didiknya, tetapi dia tidak punya program untuk anak didiknya yang ikut ultra. Siapkan saja mental, itu sarannya.

Khotbah di atas Bukit Rangkung itu menjadi bekal saya untuk lari ultra terakhir saya, dua hari kemudian, Juli kemarin di Bali. Itu juga bekal yang sering saya bawa di kepala setiap kali lari jauh. Paling tidak selalu saya coba bawa. Itu yang membuat saya berusaha menekan sekecil mungkin penolakan akan rasa sakit, untuk saya bisa menyelesaikan jarak. (Walaupun tidak berarti saya tidak pernah gagal.) Itu juga yang membuat saya kesulitan mencari foto wajah meringis saya di ultra, mungkin. (Maaf, don’t get me wrong, walaupun tidak mungkin juga saya tidak pernah meringis.) Selalu berusaha happy dan tersenyum, seperti nasihat Sang Jawara HenSis, idola saya. Atau wajah-wajah ceria idola saya lainnya, Eni Rosita, Alan Maulana, William Beanjay.

Satu nama lain terlintas, Azara Garcia, atlit pelari ultra Spanyol. Bukan senyumnya, karena saya tidak pernah ketemu langsung, tetapi tattoonya. Info dari Adharanand Finn, di kaki Azarastorm, dalam bahasa Spanyol, tertattoo ini.

The Devil whispered in my ear: ‘You’re not strong enough to withstand the storm.’

I whispered back: ‘I am the storm.’

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.