Anakku,
Ayah sedang ingin menulis, anggap saja kamu sedang membaca sepotong cerita ya.
“Matanya terasa perih, Pak?”
“Ya, Mas.”
“Itu gas airmata…”
Aku mengedipkan mata beberapa kali, tidak sampai berair, tetapi memang terasa perih.
Hampir sejam sudah Mas Suparman dan aku berputar dari mulai Jalan Gatot Soebroto yang lengang karena diblokir, Jalan Rasuna Said, Jalan Satrio yang mobil-mobilnya nyaris tak bergerak, Jalan Mas Mansyur yang senasib, dan terhenti di jalan raya depan Kuburan Karet. Tekad kami menerobos melaju melintas Jalan Layang Karet menuju Tanah Abang, di antara kerumunan manusia, beberapa titik api dan bunyi letusan, terhenti oleh peringatan seorang warga, “Jangan Mas, bahaya!”
Mas Suparman memutar balik sepeda motornya, melawan arus mengarah ke Jalan Sudirman. Menyusuri jalan utama itu, alternatif kami adalah Tanah Abang melalui Jalan Kebon Sirih. Tampak lancar hingga di bawah Jalan Layang Jati Baru Raya, tampak kesemrawutan lagi. Kami masih mencoba melintas naik jalan layang, namun di ujung bawahnya tidak mungkin lanjut. Jalanan terblokir oleh kerumunan manusia dan motor-motor terparkir, tanpa ruang untuk menerobos.
“Bagaimana, Pak?”
“Kita lewat Cideng dan Tomang ya, Mas.”
Tanpa bertanya ulang, tanpa mengeluh, tanpa tawar menawar, Mas Suparman memutar kembali arah sepeda motornya, kembali melawan arus, menuju Jalan Cideng. Selepas Jalan Tomang Raya, berbelok kiri ke arah Slipi, jalanan sepi, beberapa motor melintas, searah dan berlawanan arah. Mendekati RS Harapan Kita, kami terhenti. Motor-motor melaju cepat ke arah Tomang, ke arah kami, dan kami kembali berputar, mengikuti. Tak lama iring-iringan mobil dan motor aparat tampak di depan mata. Kami menepi.
“Atau saya turun di sini saja, Mas?”
“Jangan Pak, masih jauh kan?”
“Kalau begitu kita lewat Taman Anggrek dan Kemanggisan. Itu alternatif terakhir, sedekat mungkin ke arah tujuan. Setelahnya saya akan berjalan kaki, Mas.”
Penggalan rute terakhir ini ternyata lancar, sekalipun ketika mendekati Jalan Layang Slipi Jaya, tampak mencekam, sisa-sisa kerusuhan beberapa saat sebelumnya masih terasa. Persis di depan gang, lampu jalan dan pemukiman mendadak padam. Gelap. Aku turun. Dalam remang, aku menatap dan berucap terimakasih, sejuta terimakasih.
“Terimakasih, Pak.”
“Hatihati ya, Mas.”
Anakku,
Mas Suparman, tinggal di Senen, semalam, dalam kesemrawutan lalu lintas Jakarta, dalam suasana rusuh sekitaran komplek DPR, sejak awal sudah membuatku simpati. Tidak menolak orderan ojol ke arah Slipi, yang sejak sore sudah diberitakan rusuh. (Dan bayangkan petualangan hampir dua jam kami.) Menunggu dengan sabar di seberang Jalan GatSoe, sementara aku terhenti sejenak berjalan ke arahnya, memandang anak-anak remaja berjalan bergerombol menuju Semanggi sambil memungut dan mengumpulkan batu-batu jalanan, hingga mereka berlalu.
Aku tak tertarik dengan mereka. Aku lebih tertarik bercerita tentang Mas Suparman. Gerombolan perusuh itu tidak menarik perhatianku. (“Maksud Ayah, pendemo?” “Bukan Nak, mereka bukan pendemo, mereka perusuh. Lihatlah yang mereka lakukan.”) Tidak menarik simpatiku, apalagi. Tidak sama sekali. Bingung juga aku kalau ada selebriti yang bersimpati kepada mereka. Atau mungkin selebriti itu yang sedang cari simpati. Cara cari simpati yang bodoh. Dan semakin terlihat bodoh ketika dia tidak menyadari kebodohannya.
Salam Nak,
Ayah yang rindu ketidakingarbingaran