“Mimpi adalah bentuk kekejaman semesta kepada manusia. Membawa kita masuk mengembara dan keluar meninggalkannya begitu saja. Tanpa kesempatan untuk kembali. Sama sekali.”
Mataku tetap terpejam. Suara gecko membuyarkan tidurku. Gecko sialan yang telah dua malam selalu berbunyi di tengah malam. Tokek, tokek, tokek. Mungkin juga makhluk itu berbunyi saban malam sebelum kedatanganku. Di antara atap rumbai atau di dinding kayu sisi luar bangunan di atas bukit kecil itu. Villa dua lantai berbentuk lumbung yang dikelilingi sawah kuning sisa padi yang telah dipanen, dua pohon kelapa menjulang tinggi, dan pohon kamboja kuning, yang setiap pagi daun dan bunganya berguguran semalam, disapu Pak Wayan. Yang menjelang malam ribuan serangga bersahutan dan menjelang pagi puluhan burung berkicau. Sahutan dan kicauan alam yang tak mungkin kudapatkan di apartment studioku di ibukota, kecuali sahutan dan kicauan manusia yang telah lama kehilangan makna alamnya. Aku menginap di kamar atas, tempat aku menghabiskan sisa-sisa hari terakhir tahun lalu dengan menulis menyelesaikan bagian akhir novel terbaruku. Duduk seharian di teras atas, pemandangan laut lepas di kejauhan, sejak hari mulai semburat terang, hingga senja beranjak. Alam dan malam selalu menutup hari dengan sempurna. Tetapi tidak dengan tokek pengganggu di tengah malam itu.
Saat ini aku tak ingin membuka mata. Sampai dimana tadi tidurku? Mimpi. Damn! Aku ingat sekarang, dua malam lalu, berturut-turut, aku bermimpi. Sebuah pesta, setelah ingar bingar, lengking musik dan denting minuman, menjelang bubar, seorang wanita pamit kepada suaminya, lalu menggandengku erat, setengah memeluk, memasuki mobilku, dan kami melaju. Tokek. Aku tak terlalu ingat detail mimpi malam berikutnya, seorang wanita yang lain hadir. Akrab, bercengkerama di tengah-tengah kedekatan, dan kembali suara itu mengacaukan semuanya. Sialan bukan? Memang katanya, hanya sebagian kecil dari bagian mimpi kita yang tertinggal dalam ingatan. Selebihnya hanya hadir dan berlalu. Aneh juga, untuk apa pula, kalaulah segala sesuatu di semesta ini selalu ada maknanya. Padahal tujuhpuluh persen mimpi kita mengandung pesan tersembunyi. Dan katanya lagi, mereka yang akan hadir dalam mimpi adalah mereka yang kita pikirkan sebelum kita pejamkan mata.
Aku mencari dan membaca artikel itu setelah mimpi kedua, dan memikirkannya tadi sebelum rebah. Di luar, langit hitam berbintang, di lapangan rumput terbuka daerah perbukitan sekitar tigaratus meter dari villa, tengah berlangsung pesta pernikahan. Ramai sejak pagi dan tidak berkurang ramainya hingga malam, bahkan mungkin lebih ramai. Lagu-lagu terus mengalir dalam suara berat penyanyinya, Kangen, Kau Masih Kekasihku, lalu Wish You Were Here mengantarku tidur.
… How I wish, how I wish you were here
We’re just two lost souls
Swimming in a fish bowl
Year after year…
Aku terkejut. Kamu tidak seterkejut aku. Langsung meraih tanganku dan erat memelukku. Di mana kita? Tampaknya sebuah bandara, tetapi bukan domestik. Ya, bandara di luar negeri dan kita sama-sama tengah perjalanan dinas masing-masing. Sebuah suprise bertemu denganmu, setelah bertahun-tahun. Berapa tahun? Kapan terakhir dan dimana kita bertemu? Kenapa setelahnya tidak ada di antara kita berinisiatif memulainya? Pertanyaanku tidak terjawab, dan kamu telah menciumku tak henti-henti di keramaian bandara yang tidak peduli. Kita sepakat akan bertemu kembali setelah masing-masing menyelesaikan pekerjaan. Aku berjanji akan ke tempatmu bermalam.
Suara itu datang kembali. Mataku tetap terpejam. Saat ini aku tak ingin membuka mata.
NH
Pink Floyd…
LikeLike
One of the best…
LikeLike