Jakarta. Nyaris tidak ada lomba lari dalam kondisi jalur jalan yang steril. Kadang butuh manuver kiri-kanan berhenti-lanjut, menghindar dari para pejalan kaki, penyeberang, pesepeda, pemotor, pemobil, dan kendaraan umum. Belum lagi bunyi klakson ketidaksabaran yang memekakkan telinga dan menaikkan denyut jantung, bercampur waswas setiap kali melintas persimpangan.
Jadi, ketika ada Jayakarta Loe Gue Run di awal tahun 2020 ini, dalam rangka HUT Kodam Jaya ke-70, tampaknya akan menjanjikan kondisi langka itu. Plus rute lari 10K dari Monas menuju arah Kota, berbelok putar balik di Glodok, menempuh Gajah Mada – Hayam Wuruk, yang sehari-hari identik dengan ramai dan ruwet. (Sabtu malam menjadi pusat hiburan hingga larut, yang kadang Minggu pagi buta masih sempat kita temukan sisa-sisanya, orang-orang dengan mata kuyu dan sedikit sempoyongan.)
Saya mendaftar.
Minggu subuh, tantangan awal selalu, tentu saja, bangun pagi. Berharap paling tidak pukul 05:30, tigapuluh menit sebelum start, sudah di lokasi. Alarm 04:15, antara bangkit dari tempat tidur atau dns (do not start) saja. (“Panembahan Reso” malam sebelumnya menyita waktu, pertunjukan drama tiga jam, pulang ke rumah nyaris tengah malam dalam kondisi lapar, menyempatkan bungkus nasi goreng tektek pinggir jalan untuk dilahap di rumah sambil memelototi tv, cerita awal Prof Xavier merasakan kakinya tidak dapat digerakkan dan selanjutnya berkursi roda, baru kemudian berkemas-kemas perlengkapan untuk lari besok, hmm, untuk lari sebentar nanti.)
Dari semalam sudah mengecek Google Map (salah satu temuan tekhnologi dengan manfaat terbaik, terimakasih!), jarak 5K rumah ke Monas, membulatkan tekad tidak berkendara, berlari saja. Menembus gelap pagi, melewati pasar, jalan berbecek, menyeberang jembatan di atas toll dalam kota, berlari bersama mobil dan motor yang sesekali melintas, mendaki jalan layang samping stasiun kereta api, menjejak trotoar, dan ketika pagi muncul, akhirnya tampak Patung Kuda, Arjuna Wijaya, Monas.
Seperti diduga dan diharapkan, lomba berlangsung steril. Poll. Dua jalur mobil disiapkan dan diamankan, mulai dari Medan Merdeka Barat, Majapahit, Gajah Mada, putaran balik Glodok, Hayam Wuruk, dan kembali ke start-finish Monas. (Persimpangan aman? Tidak ada kendaraan yang klakson atau nyerobot? “Persimpangan yang mana? Memangnya ada persimpangan?”) Kenyamanan yang didambakan. Kemewahan yang diidamkan. Pace konstan, saya bisa terus berlari tidak jauh di depan para Pacer 60 menit. Sayup-sayup tak lama terdengar teriakan mereka, “Last push, last push!”. Selesai. Terimakasih. (Andai lebih banyak race macam ini…)
(Ngomong-ngomong soal steril, pertunjukan macam pementasan drama maha karya WS Rendra “Panembahan Reso” malah terganggu sterilnya, “sakralnya”, ketika kita sedang khusyuk menyimak Panji Reso menceritakan mimpinya, ada saja penonton yang baru datang-bisikbisik-kasakkusuk-melintas-menyebalkan. Butuh kedisiplinan militer, atau mungkin butuh penjaga militer di pintu masuk, “Maaf, Anda terlambat, dilarang masuk, karena hanya akan mengganggu kesterilan suasana pertunjukan.” Nah, gitu.)