Kapitalisme melahirkan dua anak kandungnya yang terkenal, konsumerisme dan investasi. Sebagian sangat besar dari kita menyukai yang pertama. Punya sedikit kelebihan penghasilan, dipakai untuk belanja lebihin sedikit. Punya banyak kelebihan penghasilan, dipakai untuk belanja lebih banyak. Punya penghasilan paspasan, juga berkekurangan sekalipun, tetap saja dipakai besar pasak dari tiang.

“Kita membeli barang-barang yang tidak kita butuhkan, dengan uang yang tidak kita miliki, untuk mengesankan orang-orang yang bahkan tidak kita kenal.”

Kita takut dengan sosialisme -yang jualannya tidak laku dan akhirnya mati, makanya tidak perlulah takut hantu- sebaliknya kita mengagungkan konsumersime lebih dari apapun.

Anak keduanya, investasi, tidak semenarik si sulung, untuk sebagian amat besar dari kita. Menyandang status investor, kalah mentereng dibanding menenteng tas kulit biawak keluaran terbaru, kalah mutakhir dibanding menggenggam handphone berkamera tiga, kalah kekinian dibanding menghabiskan waktu berjamjam nongkrong ngopi di cafe happening. Belum lagi dongeng seribu satu malam tiada habis soal risiko, ketidakmenentuan, penantian panjang, dan cerita-cerita tidak sedap lainnya. Salah satunya, cerita rugi. Investasi kok rugi, buat apa.

Namanya juga anak kandung, mewarisi darah orang tuanya. Individualistis, materialistis, homo-economicus, yang hanya mementingkan dan semata mengejar keuntungan untuk diri sendiri. Terkadang, atau sering kali, termasuk mengambil keuntungan dari kelemahan dan kesalahan orang lain, senang di atas penderitaan orang lain. Dan bukan tanpa sengaja.

Karenanya, untuk tak rugi tak perlu, bukan hal mudah mencerna dan mempercayai apapun yang kita baca, apapun yang kita dengar, apapun yang kita lihat di dunia investasi, di pasar saham. Kalau gadis-gadis pompom jelas bergoyang untuk memberi semangat team jagoannya supaya terpacu menang, happy bersama, pompom di dunia saham -lewat media sosial, WA group, atau apapun- ditujukan untuk mengajak dan menghasut para pelaku (kita-kita, para retailer) supaya membeli atau menjual saham tertentu, dalam kurun waktu tertentu. Seolah-olah si saham menjanjikan pasti untung, pemompom punya insider-information (informasi yang orang lain tidak punya), dapat firasat kelas wahid dan hasil penerawangan bermalam-malam. Padahal? Terlalu banyak manusia-manusia kapitalis dengan agenda tersembunyi, menyimpan batu di balik bahu, serigala berdandan dan bersuara domba.

Benarkah pemberi rekomendasi ingin kita untung? Apakah pemberi rekomendasi ingin kita membantunya untung? Ataukah pemberi rekomendasi ingin mengambil keuntungan tanpa peduli kitalah yang justru merugi, yang dikorbankan?

Ingatlah selalu, ini dunia kapitalis.
Inilah dunia kita, sekarang.

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.