“Bagaimana kamu memaknai hujan?”

Ajeng menyodorkan sepasang sarung tangan wol berwarna cokelat yang dipakainya. Mungkin wanita dalam balutan seragam hijau muda lumut satpol pp itu memperhatikan aku menggigil. Kedua tanganku terus bergetar, sementara tumpahan kopi yang melompat keluar dari gelas plastik tidak lagi kurasakan panasnya. Aku tersenyum, “Terimakasih, tapi hujan masih turun, nanti sarung tangannya malah basah juga.”


Pagi subuh, 3 April 2021, matahari baru saja menampakkan diri, menyertakan lembayungnya. Dari area start Ijen GeoParkRun di Megasari, Bondowoso, barisan puncak-puncak pegunungan di seberang timur sana adalah raja bumi bertahta mahkota cahaya. Megah mempesona. Awan dan kabut putih masih menyelimuti kaki-kaki gunung dan rumah-rumah penduduk di bawahnya. Dayang-dayang yang sebentar lagi akan terbang ke angkasa, untuk kembali lagi keesokan harinya.

Inilah GeoParkRun series, lari ekshibisi keempat setelah Minang tahun 2018, serta Belitong dan Ciletuh tahun 2020. GeoPark, bukan hanya sekadar tentang keindahan dan kekayaan alam purba, namun juga dengan orientasi demi kesejahteraan masyarakat sekitarnya.

Dan sekali ini Ijen GeoParkRun menjadi unik, tidak melulu aspal. Setengahnya, etape pertama, sekitar 30K dari total sekitar 60K sebagian besar ditempuh melalui jalur trail; gunung dan hutan, batu pasir dan tanah hitam. Dilepas atraksi tarian sepasang singo ulung, pukul 06:19 pagi, mulai berlari melaju turun dari puncak Megasari di ketinggian 1.600 mdpl, menyusuri jalan setapak rimbun dan jurang di sisi kanan, dengan pemandangan gunung di kiri kanan tiada habisnya.

Langit biru cerah, awan putih berarak, kebun kopi berbiji hijau tua, bunga warna-warni yang tumbuh begitu mudah, dan indah. Mengarah ke Arabica Homestay di 1.100 mdpl, tempat kami -para pelari dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar- menginap malam sebelumnya, plus jamuan makan malam dari Wakil Bupati Bondowoso, berbaur dengan rombongan teman-teman media yang meliput, beserta team kabupaten yang ramah menjejali kami dengan durian (ohmaigot!), dan buah tangan macam kripik tape (pastinya, Bondowoso Kota Tape), kopi Arabica Ijen, kantong kecil kopi pengharum mobil (konon katanya bisa juga dibawa saat kita naik busway).

Tujuan berikutnya adalah kembali mendaki ke atas, ketinggian 1.500 mdpl, Kawah Wurung (ya, urung, gak jadi, makanya di puncaknya tidak ada kawah). Tetapi keindahannya sama sekali tidak urung; bayangkan keindahan hamparan pegunungan Alpen di Swiss seperti dalam film The Sound of Music -minus puncak gunung bersalju- lengkap dengan domba-domba seperti noktah-noktah putih nun jauh di bawah sana yang tengah menikmati rumput hijau. Lekuk-lekuk alam berlapis-lapis sejauh mata memandang, tiga ratus enam puluh derajat, di antara ilalang-ilalang liar menjulang. Tidak bisa bersantai lama, apa boleh buat, durasi, perjalanan harus dilanjutkan, ke arah Kali Pait, air terjun belerang. Dan selanjutnya Paltuding, gerbang pendakian Kawah Ijen, tempat kami “diserahterimakan”, dari teman-teman pelari pendamping Bondowoso kepada teman-teman pelari pendamping Banyuwangi. (We said goodbye, we said hello, matur suwun, Rek!)

Mengukur suhu dan membasuh tangan dengan sanitizer, sebelum melalui gerbang, protokol kesehatan tetap berjalan. Langit mulai kelabu, hujan mulai turun, semakin lama semakin deras, udara menjadi dingin. Jas hujan? Endah, pendaki pelari asal Banyuwangi menjawab, “Tidak, hujan adalah kawan.” Aku bersorak, yeay! Begitulah makna hujan. Ada adalah kawan, tiadapun adalah kawan. Itulah hujan. Itulah kawan.

Tiga setengah kilometer pendakian ke puncak Kawah Ijen di ketinggian 2.313 mdpl dalam guyuran hujan, berpapasan atau mendahului para pengangkut belerang dengan gerobak beratnya. (Aku bersyukur; teringat belasan tahun lalu, ketika pertama kali ke Kawah Ijen, aku memandang takjub bahu-bahu kokoh mereka memanggul keranjang berisi puluhan kilogram beban, sekaligus miris memandang bahu-bahu yang telah berubah bentuk, lirih mendengar suara batuk-batuk seolah dari rongga dada paling dalam, bersembunyi di balik handuk yang dibasahkan yang menutup mulut dan hidung mereka, di antara kepulan tebal asap belerang.) Sekali ini aku tidak mendengar suara batuk itu, mungkin karena tidak turun ke “dapur belerang”. Di puncak Kawah Ijen sana, hujan masih deras mengguyur, kabut tebal menutup pandangan dan pemandangan, udara semakin dingin, bergegas kembali turun ke Guest House Paltuding untuk makan siang.

Hujan tidak juga berhenti. Makan siang menghangatkan perut, tapi tidak cukup menghangatkan seluruh badan yang basah dari ujung kepala hingga kaki. Mengganti pakaian sepertinya akan sia-sia karena dalam hitungan menit sudah harus kembali melanjutkan perjalanan, pukul 13:30. Menuang segelas kopi panas di gelas plastik untuk diteguk dan digenggam menghangatkan tangan yang dingin keriput gemetaran. Baiklah, kenakan plastik jas hujan, untuk sekadar menahan air hujan dan angin dingin menembus kaos basah. “Sampai ketemu di Banyuwangi, Jeng.”


Argh, ternyata lari paruh kedua ini tak kalah menyenangkan. Turunan hampir sepanjang jalan beraspal (terimakasih kepada lutut yang selalu bersahabat, love you, Tut!), hujan perlahan telah pergi (katanya hujan adalah kawaannn? ya, pan pergi supaya dirindukan), berlari terus dalam pace terjaga (beberapa kali water station pun dilewati tanpa berhenti, sombongnya gerombolan ini), beriringan diselingi yelyel, sorak, nyanyian dan tarian “Aku terpesona, sungguh terpesona, memandang wajahmu yang manis”.

Turun dan terus menurun, luncur dan terus meluncur, lari dan terus berlari; pengemudi mobil melintas mengeluarkan HP memotret dan memberikan jempol, warga dan mbok-mbok yang semringah menyapa, anak-anak berseragam berbaris di kiri kanan jalan berbendera kecil melambai menyemangati. Terus dan terus dan terus, hingga ke garis pantai, ke titik 22 mdpl, kota di sisi paling timur Pulau Jawa. Sore 17:30 senja telah temaram, balloon gate finish berdiri di Pendopo Banyuwangi, menyambut pelari melintas satu per satu. Langit cerah, tidak ada hujan seperti sehari sebelumnya, atau seperti barusan di atas Ijen sana. Tiada adalah kawan. Adapun adalah kawan. Hujan adalah kawan.

Photo by: @mhusniuuwn & NH

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.