Ada 102 polisi yang sejak pagi siaga menjaga jalur, termasuk yang mengiringi pelari sejak start hingga finish di sore hari. Ada tenaga petugas satpol, ditambah petugas dishub. Ada belasan tenaga sukarelawan di atas motor lalu lalang. Ada belasan lainnya -Yeni dan anak anak mahasiswa STKIP Hamzar yang selalu ceria dan tersenyum di balik maskernya- yang tersebar di setiap check point dan water station yang berjarak 5KM, terkadang juga berhenti menunggu di antaranya. Semua ingin perjalanan ini berjalan baik dan lancar. Semua ingin Lombok Bangkit!

Sementara aku masih terbaring. Belum banyak kemajuan berarti. Fisioterapis, Tita dan Reki bergantian membantu, dengan es batu, kompresan, pijatan dan tekukan. Setiap kali aku mengerang, Tita akan berkata, “Ekspresif ya, Om.” (Belakangan aku baru tahu kalau maksudnya, “Galak sekali, Om.) Lexi menghampiri, memberi isyarat waktu sekitar 15 menit lagi untuk meninggalkan check point, pukul 14:30 beranjak menuju garis finish.

Tujuh belas kilometer terakhir, masih dengan tanjakan, ke KM 50, sebelum dominan turun dan beberapa tanjakan akhir menuju pita finish, di kawasan Mesjid Kuno Loloan. Perlahan aku mulai menggerakan kaki, bangun dan menggesernya menginjak tanah, melangkah terseok ke kursi dan meja yang tersedia di samping. Mengganti kaos basah. Duduk, membuka makan siang kotakan. Nasi putih dan ayam goreng, kering. Apa boleh buat, tidak ada selera untuk melahapnya. (Aku butuh sop hangat, atau mie instan, atau apapun yang berkuah, kalau boleh, hiks.) Hanya mengunyah tiga butir telur puyuh dari dalam kotak kardus itu, dua gigitan roti, teh manis, dan minuman isotonik. Time is ticking.

“Kalau gak kuat jangan paksain ya, Om.”
“Yup, pasti, Bang Lexi.”

Kondisi kaki sudah bisa digerakkan lebih nyaman walaupun belum sepenuhnya pulih, makan siang yang terpaksa terlewatkan, perut nyaris kosong, dizzy dan tidak merasa cukup fokus. Kembali diukur tekanan darah dan kadar oksigen darah. Aman. Lanjut? Ya, bersiap memasuki lorong ketidaktahuan, tanpa bermaksud menantang apapun yang bakal terjadi.

“The idea that during extreme exercise such as endurance running, the brain starts to shut your body down early to protect you.” ~ Adharanand Finn

So, thank you for protecting me. Aku memilih menyelesaikan sisa jarak dengan berjalan kaki, all the way, menghindari risiko semaput. Bisa mengandalkan power walk, untuk tiba di akhir perjalanan saat matahari belum tenggelam. Dan langit masih biru, Azura.

“As soon as you honor the present moment, all unhappiness and struggle dissolve, and life begins to flow with joy and ease.” ~ Eckhart Tolle

And I did it.

NH

📸: @melani.rohi

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.