Keceriaan berangsur menguap. Udara mulai panas. Kadang tertolong rindangnya pohon, dan angin bulan Juni yang berhembus sejuk. Satu dua kali, otot paha yang mulai mengeras berpindah ke betis. Tidak lagi mampu berlari penuh, berjalan di tanjakan, berlari ketika menurun, dan berjalan campur berlari di jalur datar.

Hari sebelumnya, saat briefing, Lexi – Race Director sudah mengingatkan, lepas dari KM 27 adalah jalur menanjak, hingga ke check point kedua di KM 43. Ketika matahari mulai memanggang kepala, akhirnya berhadapan juga dengan kenyataan itu. Setelah separuh perjalanan menyusur garis pantai Laut Jawa di sisi utara pulau Lombok, jalanan mulai mengarah ke Senaru, kaki Gunung Rinjani. Menanjak dan hanya menanjak, kadang tanjakan landai kadang tanjakan curam, tetapi namanya tetap sama, tanjakan. Berjalan semakin tertatih.

“If you can’t fly then run, if you can’t run then walk, if you can’t walk then crawl, but whatever you do you have to moving forward.” ~ Martin Luther King, Jr.

Sesekali aku harus mencari bidang tanah datar -dan rindang- di pinggir jalan aspal, untuk berhenti. Berdiri sejenak. Tidak mampu melangkah, hanya berharap dapat mengendurkan sedikit otot-otot paha dan betis yang terus mengeras. Lalu melanjutkan langkah dengan postur semakin membungkuk, kepala tertunduk dalam. Petugas fisio yang melintas, sempat menepi untuk memastikan kondisi baik-baik saja. Mungkin aku akan butuh bantuan mereka nanti di check point depan. Atau mungkin juga tidak. Aku sangat jarang atau nyaris tidak pernah berurusan serius dengan fisioterapis di setiap kegiatan lari jauh.

Dua jam menjalani semua itu. Panas, menanjak, dan kaki-kaki yang seolah tidak bersahabat, bukan milikku, tidak biasanya. Langkah-langkah lemah menyeret kaki, untungnya masih mampu membawaku ke KM 43 di SDN Sukadana. Kalau sebelumnya selalu berlari senang ketika memasuki check point atau water station, disambut antusias dan ramai, kali ini aku berjalan, tidak ada yang perlu ditutupi. Begitu memasuki gerbang sekolah, berbelok ke kiri, aku menjatuhkan diri di atas velbed. Terbaring lemas dengan otot-otot seluruh kaki kaku dan kencang, bergetar dan mengunci. Kedua kaki, dari ujung paha hingga telapak kaki. Diam sakit, digerakkan tidak lebih baik. Tanganku menekan keras kiri kanan besi pinggiran velbed, menahan sakit.

Aku menengadah, daun-daun hijau kecil rimbun pohon di atas kepalaku bertiup perlahan dimainkan angin. Seolah bertanya. Masih mau lanjut dengan kondisi begitu? Atau tepatnya, masih mungkin lanjut? Aku tak peduli pertanyaan mana yang lebih pantas untuk diajukan. Aku masih mencoba untuk tidak mengerang.

NH

📸: @melani.rohi

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.