Hening. Kami melangkah berdua dalam diam. Aku hanya satu langkah di belakangnya. Berjalan perlahan sambil memperhatikan ekor-ekor rambut hitam ikalnya yang basah. Yang menyembur keluar dari sapuq, ikat kepala khas Sasak. Butiran keringat mengkilap berpendar memantulkan sinar matahari yang terik, mengalir lambat, jatuh dan redup ke dalam kaos larinya yang kuyup. Entah kemana cahaya itu menghilang. Mungkin diserap tubuhnya. Karena tak mungkin juga lenyap begitu saja, energi apapun tidak ada yang musnah, hanya berubah bentuk. Kekal adanya. Itu yang pernah kubaca, satu saat dulu.
Aku ingat sekarang, cahaya tubuhnya itu yang menarik perhatianku. Juga sapuq yang melingkar di kepalanya. Sepotong wajah asing bagi suku kami, tetapi balutan sapuq telah membuatnya tampak istimewa. Karenanya aku mengikutinya sejak tadi. Sudah berapa kilometer kami berlari dan berjalan? Lebih dari tiga jam, selepas meninggalkan bangunan sekolah tempatku mengajar. Tadi aku sempat mencuri dengar, dia dan rombongan sudah berlari dua puluh kilometer, sejak subuh. Singgah di sekolahku, sebelum melanjutkan perjalanan, masih dua puluh kilometer ke pos peristirahatan berikutnya dan sisanya dua puluh kilometer lagi barulah tiba di garis akhir, sisi utara pulau. Jauh ternyata. Aku akan mengikuti semampuku saja, atau selama dia masih mengizinkanku.
Di sekolahku, dia dan teman-teman larinya sempat beristirahat, menyantap ubi dan pisang rebus dan meneguk kelapa muda. Pak Bayan, kepala sekolah kami juga hadir, berbincang-bincang, menyambut dan melepas mereka. Ah ya, aku selalu bangga dengan sekolah ini, sekolah yang membesarkanku. Sejak kecil hingga remaja, tempatku belajar dan bermain, menghabiskan banyak waktu di pekarangan, lapangan basket dan volley, dari bangunan SD, berpindah ke SMP dan SMA. Terakhir di bangunan ruang guru. Aku adalah guru biologi.
Langkahnya semakin melambat saat mendaki jalanan aspal menanjak. Aku mengikuti. Dia tampak kelelahan. Kepanasan dan kehausan. Kepalanya tertunduk, semakin lama semakin dalam. Aku ingin menyentuh pundaknya, tapi kuurungkan niatku. Ingin mengajaknya bicara, tapi keraguan membekapku. Jangan-jangan hanya mengganggunya saja. Biarlah kami bermain dengan pikiran masing-masing. Hening. Hanya ada tarikan dan hembusan nafasnya. Dan sesekali bunyi serangga siang.
Sebidang kecil tanah datar, di depan pintu pagar besi yang terkunci gembok karatan, dia berhenti. Tangannya memijat-mijat paha, lalu turun ke betis. Wajahnya tampak meringis. Apa yang bisa kulakukan? Adakah yang seharusnya aku lakukan? Akhirnya aku memberanikan diri bertanya. Suaraku pelan, ragu bergetar, “Apakah aku membebanimu?”
Kubenamkan kepalaku, tidak berani menatapnya. Seperti sebelumnya. Hening. Dia tidak menjawab. Juga tidak memalingkan wajahnya kepadaku. Mungkin dia sudah terlalu lelah. Tapi aku malah bersyukur. Tidak mengganggu istirahat sejenaknya dengan memandangku, lalu menjawabku, atau menjelaskan ini itu. Aku kembali bersyukur, ketika dia mulai mengayunkan kaki, aku buru-buru menyusul.
Aku menghentikan langkahku. Sementara dia masih terus melangkah, berjalan terseok. Suasana ramai di depan. Puluhan anak-anak dan orang dewasa berbaris bertepuk tangan menyambut kedatangannya. Aku berdiri diam, menunggunya menengok ke belakang, ke arahku. Sekadar melambai. Aku ingin memandangnya sekali lagi. Sebentar saja. Tapi dia berbelok dari jalan aspal, ke kiri ke pekarangan kantor kecamatan itu, berbaur dengan rombongan yang telah siap menyambutnya. Perlahan aku menurunkan tanganku, menyimpan lambaianku. Berbalik arah. Menutup wajahku. Terisak.
Aku berjalan kembali ke arah sekolahku. Jauh di depan sana. Aku akan kembali ke ruang praktikum biologi, ruangan yang paling kucintai, ruangan yang membuatku selalu bahagia ketika melihat reaksi murid-murid yang antusias setiap kali praktek. Ruangan yang roboh saat gempa besar dua tahun lalu. Ruangan tempat mereka menemukan jasadku.
NH