Aku terkejut. Aku terdiam. Aku tahu dia serius dan aku tidak berani memandangnya.
“Gimana kalau ini jadi NusantaRun terakhirku?”
Aku tidak pernah menyangka pertanyaan itu akan keluar dari mulut pelari di sampingku ini. Dan aku tidak siap untuk menjawab.
“Kamu tahu kan menderitanya…?”
Kami melangkah berdua dalam sepi, hanya ditemani hembusan angin dingin pagi. Beberapa teman larinya dan teman supportnya, berada di depan dan belakang kami. Kami terus berjalan, diselingi sesekali berlari, naik turun jalan raya berbukit itu, menemani 10K terakhir perjuangan perjalanannya. Di sebelah kiri, di bawah lembah sana, tampak hamparan tanaman kentang yang siap dipanen. Minggu pagi itu dataran tinggi Dieng masih sedikit berkabut, dinginnya masih menggigilkan…
Aku tahu setelah menempuh 120K, sejak Jumat malam dari Purwokerto, setiap ayunan langkah di jalan aspal dan beton hanyalah menyisakan rasa sakit di kedua telapak kakinya dan setiap persendiannya yang sebentar lagi berumur setengah abad. (Ups, maaf sudah membocorkan rahasia keluarga.) Aku tahu terik panas luarbiasa matahari kemarin siang menuju setengah perjalanan di Banjarnegara telah membakar habis kulitnya dan membuatnya kehausan sangat. (Dia pernah cerita tentang air minum di tas pundaknya yang menghangat. Jadi tak perlu membayangkan wajah gosong bercampur ekspresi hausnya, tidak akan menarik.) Aku tahu hujan tadi malam sempat tak membuatnya berhenti untuk tetap melangkah ke check point terdekat, sebelum akhirnya menyerah karena hujan yang semakin lebat, berteduh basah kuyup di kios pulsa handphone. (Meminjam kursi plastik untuk duduk sejenak, dan mendapat tawaran baikhati menggiurkan dari penjaga kios. Diojekin. What?! Awas kamu, Mas!) Aku tahu jalanan menanjak dataran tinggi Dieng begitu melelahkan ketika melihatnya sering kali memegang pahanya sambil terus melangkah membungkuk. (Sambil sesekali ngomong sendiri, yang sabar ya, paha sayang…) Aku tahu kantuk luar biasa tidak cukup hanya diimbangi tidur sejam di aula kantor bupati atau di pelataran mesjid, atau dimanapun dia bisa memenjamkan matanya, lalu melanjutkan perjalanan lagi dengan mata tertutup. (Aku nyerah untuk urusan tidur yang satu ini, dan sobatku si Kapten Amerika juga ngaku gak sanggup lari sambil merem.)
***
Pa, tapi Papa harus tahu, berapa banyak relawan yang tak kenal lelah dan tak kenal kantuk yang terus bertugas siang malam di setiap check point, melayani para pelari. Berapa banyak relawan sepeda, motor dan mobil yang mengawal para pelari di jalanan. Pagi siang sore malam, dan juga tengah malam. Berapa banyak pelari yang cidera dan terpaksa tidak melanjutkan perjalanan dengan segala perasaan yang mereka pendam dalamdalam. Berapa banyak hati yang telah terketuk untuk menjadi donatur acara ini, lebih dari 4.600 orang, Pa! Berapa banyak dana duamiliarrupiah hasil donasi dapat berdampak untuk pengembangan 400 guru-guru di Dieng dan ribuan anak-anak didiknya, anak-anak Bangsa negeri ini. Berapa banyak guru-guru dan murid-murid yang berjamjam menunggu dengan sabar di garis finish menyambut para pelari. Berapa banyak bahagia dan sukacita meledak di garis finish. Dan berapa banyak tangis dan air mata tumpah di sana…
Pa, masih ingat? Papa pernah cerita kalau sudah berlari sejak SD. Langit masih gelap ketika Papa dan temanteman kecil Papa sudah berlari menuju taman di Stasiun Kota. Papa menggemari olahraga satu ini sejak kecil. Papa mencintainya. (Tepatnya sih menggilainya, seperti biasa keluar dari mulutku begitu denger lari jauh-jauh itu.) So, teruslah berlari, Bro. Juga untuk NusantaRun.
Pa, untuk NusantaRun, Papa sebenarnya “bukan berlari”. Tapi berdonasi. Kalau sekedar berlari, kapanpun Papa bisa lakukan itu, ya kan? (Coba cek lemarinya deh.) Satu hal lagi, dan ini lebih dari segalanya, Papa tahu bahwa Papa dan NusantaRun sudah mengajarkanku sesuatu yang luar biasa? Berbagi. Ya, berbagi. Ingat satu sore ketika aku menyerahkan uang ke Papa di teras rumah?
“Buat apa ini ?”
“Buat anak-anak kalau nanti Papa lari lagi.”
Papa terkejut. Papa terdiam. Papa tahu aku serius dan Papa tidak berani memandangku.
NH