Lebih baik di sini, rumah kita sendiri… ~ God Bless

Senin pagi, membuka harian Kompas dalam perjalanan ke bandara, di kiri halaman depan tertulis headline hitam besar “Generasi Milenial Sulit Beli Rumah”. Di pesawat, membaca ulang berita dari koran yang sama, pinjaman dari mBak pramugari, saya mencermati kata-kata dan angka-angka. Dan terutama mencoba mencari hingga akhir berita, kalimat-kalimat yang menyejukkan untuk para milenial agak tak sulit lagi membeli rumah. Tak ada solusi. Itu hanya sekedar berita saja, ternyata. Awal pekan yang tidak menarik. Argh, I don’t like Monday!

Seorang teman sekolah saya, pagi yang sama, memposting gambar berita tersebut di group whatsapp, lengkap dengan komentar bahwa fenomena itu mah sudah ada sejak tahun 2000. Nadanya kecewa. Entah kepada kondisi itu atau berita sekedar berita itu, tak jelas. Namun kalau benar komentar teman tadi, tampaknya “sulit beli rumah” adalah lingkaran setan yang selalu ada menyertai setiap generasi, entah kita adalah kaum baby boomers dulu ataupun kita adalah kids zaman now.

Saya selalu membayangkan indah bonus demografi untuk negeri ini. Tapi sekarang saya membatin. Bonus demografi jadi terdengar ngilu, sungguh, ketika disebutkan 176,8 juta penduduk produktif (15-64 tahun) dari total 261,8 juta penduduk Indonesia, yang digadang-gadang adalah tulang punggung bonus demografi itu, ternyata 80 juta di antaranya adalah generasi milenial yang lahir pada 1980-1999. Generasi SBR. Yup, “generasi sulit beli rumah”.

Disebutkan “Kenaikan rata-rata penghasilan jauh di bawah kenaikan harga rumah.” Dengan ilustrasi berita kalau kita tahun 2016 lalu bergaji Rp 6 juta masih mampu mencicil rumah, pada tahun 2021 nanti, ketika gaji kita Rp 12 juta, tidak ada lagi kemampuan itu. Lupakan rumah, Milenial!

Namun setiap zaman tidak selalu kejam terhadap anak kandungnya sendiri. Setiap era akan melindungi generasinya. Tidak ada satupun masalah di atas bumi ini yang tanpa solusi. Tidak satupun masalah. Apalagi hanya soal rumah. Kutipan pendek Warren Buffet ini mestinya lebih dari cukup menjawab masalah kita. “Never depend on single income. Make investment to create a second source.” Selesai. Kita sudah tahu jawabannya. Mengandalkan satu penghasilan dan kenaikannya yang tak seberapa, tidak akan membuat kita punya rumah. Izinkan saya kutip mBah Buffet sekali lagi. “If you don’t find a way to make money while you sleep, you will work until you die.” Dan pastinya gak punya rumah seperti kata berita itu.

Investasi. Anda sudah sering mendengar kata itu. Percayalah, itu bukan pilihan, tapi kebutuhan. Sama seperti rumah, adalah suatu kebutuhan. Bukan pilihan, bukan? Ada begitu banyak artikel, buku, website, seminar, perbincangan, akses, kantor, komunitas, teman, dan lain-lain dan lain-lain. Terlalu banyak. Mulailah sekarang, atau anda akan selamanya menjadi tuna wisma. Betul kan ya itu istilah untuk tidak punya rumah?

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

2 replies on “Rumah Kita

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.