Keringat terus menetes dari dahiku, bertemu dengan alis tebalku, dan perlahan mengalir ke ujung ekor alisku. Matahari persis di atas kepala, satu jam sudah memanggangku. Aku hampir menyelesaikan tugasku, menutupi jasad Jeff dengan tanah. Tinggal tersisa wajahnya. Wajah yang masih menunjukkan rasa sakit akibat ledakan ranjau yang melontarkannya tadi. Ranjau sialan! Perang laknat! Padahal inilah hari terakhir perjalanan kami kembali ke barak, setelah tiga bulan diterjunkan di medan perang dalam hutan belantara sana.
Jeff dan aku bersahabat baik tidak hanya selama kami di medan perang ini. Di kota kecil kami, di negeri kami, kami bertetangga. Rumah kami hanya dipisahkan sebidang tanah lapang seukuran tiga lapangan basket. Kami teman bermain sejak remaja, sebelum berpisah pada saat kuliah. Dipertemukan kembali oleh panggilan yang namanya tugas negara ini. Tugas negara! Kata para petinggi-petinggi di belakang meja itu. Persetan dengan istilah itu. Apakah mereka yang meneriakkan kata itu pernah mengangkat senjata, berbulan-bulan di dalam hutan, tanpa bisa lagi membedakan siang dan malam? Entah kepentingan negara apa yang dibela hingga kami harus dikirim beribu-ribu miles menyeberang laut ke benua ini, negeri kecil ini. Untuk satu alasan konyol yang disebut perang.
Aku berdiri, mencari gundukan tanah terakhir, untuk menutup wajah Jeff. Argh, akan kucari juga helmnya. Jeff akan suka helm kesayangannya ditaruh di atas wajahnya. Dia pasti bangga. Mataku mencari-cari. Namun belum sempat melangkah, Aku mendengar teriakan teman-temanku yang berlarian kocar kacir berlindung. Aku menengok ke langit. Oh, no! Sebuah pesawat baru saja menjatuhkan bom. Aku terpana. Aku melihat bayangan wajah istriku yang menangis. Aku ingin berteriak. Tapi tak sempat. Gelap.
“Istrimu di kehidupan sekarang ini adalah seseorang yang pernah kamu kubur di kehidupanmu di masa lalu. Saat ini dia terlahir sebagai istri adalah untuk membalas budimu…”
AppleWatchku menunjukkan pukul 23:09. Selesai memarkir mobil di halaman rumahku, aku duduk di bangku bambu memanjang di teras. Menyulut sebatang rokok, sementara wajah Nelly masih berputar di kepalaku. Bau tubuhnya masih menempel di kemeja batikku. Aroma bibirnya masih tertinggal di bibirku. Ciuman perpisahan di mobil tadi, usai aku mengantarnya di tempat parkir, mungkin jadi babak baru hubungan kami, setelah berkenalan lima bulan lalu. Kami tahu status kami masing-masing. Aku beristri dengan sepasang anak laki dan perempuanku. Nelly bersuami, yang menurut istilahnya “sudah selesai hubungannya”, dengan seorang putra tunggal berumur lima tahun. Kami berjanji dan tahu persis hubungan ini tidak akan kemana-mana. Cukup seperti ini saja. Mengatur waktu untuk bertemu setiap ada kesempatan, makan siang atau makan malam bersama. Dan aku menikmati setiap saat bersamanya. Senyumnya, pintarnya, cengkramanya. Aku menikmati sentuhan dan pelukannya. Dan terutama ciumannya tadi.
Ketika melangkah masuk ke ruang tamu, aku melirik foto pernikahanku dan istriku, Ivonne. Foto di atas kertas kanvas yang sudah tergantung sepuluh tahun tanpa pernah berubah posisi. Masih tetap berwarna cerah dan tidak berdebu. Selama itu pula kami mengarungi rumah tangga tanpa kemelut sekalipun. Aku bukan tipikal pria nakal, yang suka melirik wanita lain. Bahkan untuk makan siang sekalipun hanya berduaan dengan seorang wanita. Apalagi makan malam. Tetapi sejak pertemuan dengan Nelly, aku tahu aku jatuh cinta. Sosok yang terasa akrab buatku. Aku mencintainya dan aku tak mungkin salah.
“Seseorang yang sangat kamu cintai saat ini adalah istrimu di kehidupan masa lalu. Kalian bertemu untuk menyambung kembali jodoh yang belum sempat selesai di kehidupan masa lalu…”
Aku berbaring di ranjang. Menatap wajah Ivonne yang telah lelap sejak tadi. Aku berbisik kepadanya. Dalam hati.
“Siapakah kamu di kehidupan lamamu? Apakah kamu pernah menyakiti seseorang? Apakah itu Nelly? Nelly di kehidupan sebelumnya? Apakah alam sedang membalasmu karena itu? Maafkan Aku, Iv…”
Aku memandang langit-langit kamar. Menggambar kembali wajah Nelly, hanyut tenggelam dalam bola matanya yang berbintang. Aku terpejam. Dan tertidur.
Sementara semesta tengah merancang balasannya untukku nanti, di kehidupanku nanti. Atas cintaku kepada Nelly. Dan atas ciuman kami tadi.
NH