Kami berdiri dan mengucapkan selamat berpisah
Namun cinta dan keputusasaan berdiri diantara kami seperti dua hantu
Yang satu mengembangkan sayapnya dengan jari di tenggorokan kami
Sementara yang satu menangis dan yang lain tertawa
Saat aku menggenggam tangan Selma untuk kucium
Ia mendekat padaku dan mencium dahiku
Ia menutup matanya dan berbisik lembut,
“Oh Tuhan, ampunilah aku dan sambungkanlah sayap patahku”

~ Kahlil Gibran

Itulah yang tertulis di secarik kertas itu. Aku tak tahu yang mana dari perempuan-perempuan itu yang bernama Selma. Juga yang bernama Kahlil Gibran. Pastinya satu di antara dua laki-laki tadi. Ya, ada tujuh orang yang mengantar Oom di sebelahku ini tadi di pintu gerbang airport. Aku menghitung, dua laki-laki dan lima perempuan. Aku memang suka memperhatikan orang-orang di sekelilingku, dan yang satu ini sejak awal menarik perhatianku. Sangat. Satu persatu mereka berpelukan dengan Oom ini, dan satu per satu menangis. Dari yang hanya meneteskan airmata, hingga yang sesengukan. Kalau saja Ibu tak menarik tanganku segera melewati gerbang pemeriksaan Pak Petugas Bandara, mungkin aku bisa menyaksikan drama mereka lebih lanjut.

*
Aku tahu mataku sudah memerah, tidak mungkin tidak. Inilah harinya, perpisahan itu. Tujuh tahun bersama “anak-anak” ini, begitu banyak hal yang kami lalui bersama. Tidak lagi melulu masalah pekerjaan dan segala perjalanan dinas, kami sering pula bepergian bersama, ke gunung atau ke pantai. Kalau sekedar nongkrong ngopi di cafe, itu sudah rutin. Plus, juga nongkrong di pub, ngobrol sanasini sambil mendengarkan dan bernyanyi berteriak nyaring lagu-lagu live music, grup band pub kesukaan kami itu. Kami mencapai banyak hal luarbiasa di pekerjaan kami, kami penuh energi kreatif dan antusias. Kami bekerja keras, bekerja dengan kepala dan terutama hati, menikmatinya dan merayakannya. Tetapi, toh tak ada pesta yang tak berakhir. Atau mungkin untuk yang satu ini, aku yang mengakhirinya. Begitulah. Anak semata wayangku tahun ini lulus SMA dan akan melanjutkan kuliah di Leeds. Diskusi panjang lebar berminggu-minggu dengan istriku, akhirnya kami memutuskan untuk pindah ke sana. Pada akhirnya aku bahkan berpikir untuk kuliah lagi. Entah di Leeds atau kota lain di Inggris sana.

*
Janji Ibu kalau aku dapat meraih ranking tiga besar lulus-lulusan SD ini akan dihadiahi jalan-jalan ke Singapore terpenuhi. Universal Studio, I’m coming! Tadi ketika sedang memakai seat belt aku terkejut, Oom di gerbang tadi ternyata duduk persis sebelahku. Aku di tengah. Ibu duduk dekat jendela, kepalanya sudah bersender ke bantal kecil yang dibawanya, matanya terpejam, entah tidur atau tidak. Sebelum duduk, Si Oom sempat tersenyum sepintas kepadaku. Belum kubalas, dia sudah menaruh pantatnya di kursi. Sekilas aku melihat matanya yang merah. Mungkin sisa peluk-pelukan tadi. Pesawat sudah terbang ketika dia membuka amplop ungu itu perlahan, mengeluarkan secarik kertas, dan membacanya. Tiba-tiba dia melepas seat belt, bangkit berdiri bergegas menuju toilet. Tergeletak di kursi yang ditinggalkannya, aku mencuri membaca. Surat dari Oom Kahlil Gibran tampaknya. Ketika dia kembali, berjalan sepanjang lorong penumpang dengan kepala tertunduk, aku memperhatikan matanya masih merah. Atau bahkan lebih merah sekarang. Aku buru-buru memperbaiki dudukku, meletakkan kacamataku di meja lipat dan memejamkan mata, mencoba tidur. Atau pura-pura tidur.

*
“Anak-anak” itu tahu aku menyukai Kahlil Gibran. Entah mereka mendapat ide darimana, kutipan Sayap-Sayap Patah itu begitu menyentuhku. Aku sudah berusaha menahan tangis saat perpisahan di gerbang tadi. Lumayan berhasil, tidak sampai tumpah. Tetapi tulisan di secarik kertas di selipan kartu perpisahan itu benar-benar meremukkanku. Aku harus bergegas ke toilet pesawat, menangis terisak di ruang kecil sempit itu. Aku tahu aku kehilangan. Aku kehilangan persahabatan, aku kehilangan persaudaraan, aku kehilangan kekeluargaan, aku kehilangan hidup yang hidup. Aku kehilangan gunung dan pantai, ngopi bersama, dan bernyanyi histeris bersama. Aku kehilangan petualangan. Aku kehilangan banyak. Sungguh banyak. Rasa kehilangan itu memang baru benar terasa tadi, sesaat ketika aku melangkah melewati gerbang metal detector, dan memandang mereka dari balik kaca. Dan sekarang pun ketika aku telah duduk kembali di kursiku, di sebelah anak lelaki berkacamata gagang hitam ini, aku tahu bahuku masih sesekali berguncang pelan.

*
Aku tidak mengerti siapa itu Selma dan Kahlil Gibran, dan yang mana di antara teman-teman Oom ini. Aku juga tak tahu apa yang terjadi dengan orang-orang dewasa ini. Yang pasti tampaknya tadi mereka sedang acara pisah-pisahan. Pelukan Oom ini ke teman-temannya, satu per satu, kuperhatikan, persis seperti Ayah biasa memelukku. Hangat. Pantas saja teman-temannya menangis. Masih dengan mata tertutup, aku coba membayangkan kalau saja setiap temannya tadi menangis untuknya, aku tahu sekarang kenapa dia tampak jauh lebih sedih, lebih terpukul. Kasihan Si Oom. Ya ya, karena dia menangis untuk lebih banyak temannya, tujuh orang. Aku belajar sesuatu hari ini. Aku merebahkan kepalaku ke bahu Ibu. Tidur.

*
Aku memandang ke kiri. Anak kecil di sebelahku sudah tertidur, bersandar di bahu ibunya. Di luar jendela, langit gelap. Beberapa kali terlihat cahaya kilat bersambar. Aku menutup mata, membatin, “Ya Tuhan, sambungkanlah sayap patahku”.

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.