“Yah, ayooo…”
Ayah segera menghabiskan tegukan kopi terakhirnya dari gelas bening itu. Memandang geli Adik yang sudah siap dalam pakaian seragam putih merahnya. Hari ketiganya di kelas 1 SD, sekolah di seberang jalan raya dari pemukiman pinggir kali kami, sekitar dua kilometer. Mungkin yang menggelikan bukan seragam SD itu, tetapi helm yang terpasang di kepala Adik. Sedikit besar tapi dengan tali helm terkait, pas juga rasanya. Aku ikut tersenyum. Sekejap kemudian motor Ayah terdengar dan mereka melaju, menuju sekolah Adik. Satu komplek dengan SMP negeriku juga.

Aku mulai menyuap nasi uduk belanjaan Ibu tadi pagi-pagi di warung tetangga tiga rumah ke kanan seberang tempat tinggal kami. Nasi uduk dengan sebutir telur bulat dan sepotong tahu, tanpa ayam goreng. Porsi kesukaanku, pas dan irit.
“Bu, kenapa sih Ayah gak mau kami berangkat bareng-bareng saja sekalian?”
Ibu yang baru melangkah masuk rumah setelah mengantar Ayah dan Adik, memandangku.
“Hahaha, ndak akan, Kak.”
“Kenapa? Kan bisa hemat waktu, berapa menit coba? Lima belas, dua puluh menit. Dan juga hemat bensin kan, Bu?”
Ibu mengangkat gelas kopi bekas ayah.
“Kakak ndak ingat ya, pernah kita berboncengan bertiga sebelum adikmu lahir? Bahkan waktu Kakak masih bayi sekalipun, kemana-mana Ayah ndak mau berboncengan bertiga dengan Ibu. Ayah pilih naik mikrolet atau bajaj.”
Aku memperhatikan Ibu, sambil mengunyah kerupuk putih renyah itu.
“Ayah tuh ndak mau ambil resiko berboncengan bertiga. Tidak aman katanya. Dan lagi Ayah mau disiplin. Sepeda motor ya paling banyak buat dua orang. Ndak mau tuh Ayah melanggar. Jadi Ayah pilih mending bolak balik antar Adik terus Kakak. Waktu dan bensin mah ndak ada artinya buat Ayah, dibanding keselamatan kalian.”
“Jadinya kan harus bangun lebih pagi, Bu, kalau bolak balik gitu.”
“Ya iya. Supaya gak terlambat sekolah tuh bukan lalu bonceng bertigaan, tapi bangun lebih pagi. Yang benar tuh gitu. Ya kan Kak?”
Ibu berkata sambil berjalan ke dapur. Aku menyelesaikan beberapa suap terakhirku. Gigitan kerupuk terakhirku. Lalu meneguk teh hangat. Manis.

*
Suara motor Ayah mendekat. Aku mengambil tas sekolahku. Menghampiri Ibu yang sedang memasak, meraih tangannya dan menciumnya. “Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam…”
Ibu memandangku menuju pintu pagar, menaiki motor bebek keluaran tiga tahun lalu itu. Ayah menyodorkan helm yang tadi dipakai Adik. Masuk ke kepalaku. Sedikit longgar, kukaitkan talinya.

Di tengah jalan, sepanjang jalan, aku mulai memperhatikan sepeda motor yang lalu lalang. Astaga, banyaknya yang berboncengan bertiga. Ada yang berpenumpang dua anak sekolah, ada juga yang dengan ibunya, mungkin. Tetapi, ya bertiga. Bahkan ada yang berempat malah. Aku meringis, mengingat kata-kata Ibu tadi. Kok mereka cuek sekali dengan keselamatan ya. Belum lagi yang tidak memakai helm. Tidak kalah banyaknya. Duh! Ada rasa aneh di dadaku. Dan, aku mulai memperhatikan sekarang, ternyata ada saja sepeda motor yang melawan arus. Tiba-tiba aku merasa sesak. Orang-orang ini kok tidak peduli sama sekali dengan keselamatan ya. Tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk anak-anak dan keluarganya. Anak-anak yang sedari kecil sudah tidak diajarkan soal kedisiplinan. Anak-anak yang sedari kecil sudah diajarkan tidak disiplin. Anak-anak yang baru seusia Adik dan aku.

Aku memeluk pinggang Ayah lebih erat, menempelkan helmku ke punggungnya. Aku merasa begitu bersyukur punya Ayah yang tidak hanya menyayangi kami, memperhatikan keselamatan kami. Tetapi juga mengajarkan kepadaku arti disiplin. Sikap dan sifat yang saatnya akan menjadi karakterku, menjadi bekalku di dunia dewasa nanti. Terimakasih, Yah.

*
Turun dari motor, aku melepas helm, memberikan kepada Ayah. Mencium punggung tangannya.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam…”
Aku memandang Ayah. Menggerakkan bibirku, membentuk sebuah kecupan. Ayah memandangku dengan tatapan bingung. Mulutnya seolah berkata “Apa?”, tanpa suara. Aku tersenyum, berpaling darinya dan berlari riang ke halaman sekolahku.

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.