Aku antusias ketika pesawat mendarat mulus dan roda-rodanya menyentuh landasan Soekarno Hatta. Antusias namun tetap duduk, sementara memperhatikan para penumpang yang sebentar kemudian sudah berdiri membuka bagasi di atas kepala, padahal lampu untuk sabuk masih menyala dan pesawat masih bergerak. Tidak satu dua seperti biasa untuk yang sesekali naik pesawat, tetapi ini hampir semua penumpang di depan kursiku di deret 29. Pramugari dari depan, kelas bisnis, bergegas muncul dan meminta para penumpang untuk duduk kembali. Wajahnya tampak kewalahan. Aku tersenyum. Begitulah Kita. Tidak sabaran.
Pengumuman resmi awak pesawat (Ya, awak pesawat, kamu ndak boleh, mBak!) berupa permintaan maaf dan tidak ada garbarata, jadi naik bis. Biasa deh, maskapai jawara tuan rumah tapi “kalah mulu”, cis. Tetapi dipikir-pikir naik bis sebenarnya menguntungkan juga, diantar sampai ke pintu terdekat exit bandara. Tidak perlu berjalan jauh – jauh sekali – dari ujung satu, kadang ujung belokan satunya lagi yang lebih jauh, ke exit. Saking jauhnya, eskalator datar berjalan terminal 3 tidak menarik untuk sebagian penumpang. Mereka lebih senang menumpang golf cart, rela menunggu antri (baca: ramai) di “halte”, sebelum diangkut. Begitulah Kita. Sabaran.
Lha?! Bingung…
Dah ah, aku antusias. Aku mau naik kereta dari bandara ke kota, ke Sudirman. Pengalaman pertama. Deg-degan (Ya, kan pertama, seperti waktu pertama sama kamu itu lho. Ya, kamu!). Ternyata, sempurna! Beli tiket pakai vending machine, berangkat tepat waktu, kereta bersih dan terang. Empat puluh enam menit, meluncur membelah gelap malam Jakarta, tepat 19:06 tiba di tujuan. Berjalan kaki menuju Grand Indonesia, menikmati pedestrian yang luas, dan macetnya Jakarta. Sekali ini aku bersyukur, sangat. Tidak ada satupun sepeda motor mengambil wilayah kami, para pejalan kaki. Padahal aku sudah bersiap menghadang kalau saja ada yang nekad. Maklum, konon lapar dan nekad berteman baik. (Ups, gak deh. Terimakasih, Bikers! Teruslah begitu.)
Tiga paragraf berdongeng, sebenarnya ini yang mau aku tulis. Isi pertemuan dengan kawan ditemani makan malam. Soal rencananya mau IPO, menjadi perusahaan publik dan tercatat di Bursa Efek Indonesia. Terlalu banyak cerita ajaib yang didengar dari pihak-pihak yang mau “membantu” dia untuk listed. Dari soal fee yang mencapai 25%, soal “konspirasi jahat” perdagangan saham di pasar sekunder, hingga soal membayar ke BI (Ya, BI Bank Indonesia!) yang tidak ada hubungannya. Selalu saja ada pihak-pihak yang mencoba untuk mengakali dan mengelabui calon emiten, dan pada akhirnya juga para investor, masyarakat. Geram juga mendengarnya, sampai beberapa kali aku mengetuk-ngetuk meja. Untungnya makan malam sudah ludes dan di panggung segera mengalun You’re the Inspiration.
You should know
Everywhere I go
Always on my mind
In my heart
In my soul
Baby
Menjadi perusahaan publik, menjual sebagian saham kita, perusahaan mendapatkan dana segar untuk modal kerja dan ekspansi usaha. Cukup fokus saja ke kinerja perusahaan kita, menjadi lebih baik, menghasilkan keuntungan lebih besar untuk seluruh pemegang saham. Para pendiri, pemilik, dan manajemen perusahaan mencurahkan energinya pada jalannya perusahaan. Dan dalam pasar yang sempurna, kenaikan kinerja keuangan perusahaan dengan sendirinya akan mengangkat harga saham di pasar. Sebaliknya, anjloknya performance perusahaan akan merontokkan harga saham kita. Pasar akan selalu adil, dalam hal memberikan apresiasi, maupun dalam hal menghukum.
Pasar yang sempurna? Bagaimana yang tidak sempurna? Mungkin saja akan ada pihak-pihak tertentu yang bermain dengan saham kita. Ya, namanya juga sudah saham masyarakat, milik umum. Yang pasti tujuan kita adalah IPO tadi, perusahaan tidak perlu melibatkan diri di perdagangan sekundernya. Biarkan harga saham bergerak sesuai kinerja kita, dan investor publik mendapatkan manfaatnya, apa adanya. Tanpa kosmetik dan cerita abal-abal, tanpa ikut bermain sana sini. Manfaat go public yang dinikmati perusahaan, balaslah dengan pengembalian keuntungan kepada para pemegang saham publik secara benar, dividen dan apresiasi harga.
Maraknya bursa efek beberapa tahun terakhir, melahirkan animo tinggi masyarakat untuk menjadi investor, juga memicu perusahaan untuk memanfaatkan pendanaan dari pasar modal. Sisi lain, memunculkan pihak-pihak yang berusaha memanfaatkan situasi ini untuk mengais keuntungan pribadi, dengan potensi merugikan perusahaan (material dan immaterial), dan terutama investor publik sebagai korbannya. Jangan biarkan pihak-pihak ini berkeliaran, menghambat perkembangan emiten dan investor kita.
Sebagai investor, pada akhirnya, kembali kita diingatkan, selalu. Faktor fundamental kinerja keuangan perusahaan adalah harga mati dalam menilai dan menentukan pembelian saham kita. Abaikan rumor gosip yang selalu ada di pasar, pergerakan-pergerakan perdagangan semu, nafsu ingin untung besar dan instant. Hal-hal yang terdengar saja sudah tidak positif, bukan? Tinggalkan.
Malam itu, berjalan di Bundaran HI, aku ingat kalimat nasihat yang pernah disampaikan mentorku dulu. Dari pepatah Tiongkok, katanya, “kita di tempat terang, mereka di tempat gelap”. Mereka yang mengintai kita selalu bersiap menerkam dan memangsa kita, mudah untuk mereka. Namun ketika kita mawas, ketika kita selalu “berkelakuan baik”, tak ada ruang untuk mereka untuk itu. Dan mereka akan berlalu. (Dan kita tidak perlu juga menyeberang ke tempat gelap mereka.)
Ah, Tugu Selamat Datang indah ya kalau malam…
NH