Anakku,
Pagi itu setelah mengantarmu ke sekolah, tugas sekaligus kemewahanku setiap awal hari, aku memarkir mobil di depan rumah kita, dan mulai mengibaskan kemoceng, menyapu titik-titik debu yang menempel di badan mobil. Seorang ibu melintas – mungkin akan ke kantor – dan memandangku ragu. Tapi wajah ayahmu yang ramah ini mengusir keraguannya.
“Mas, kalau mau cari kos-kosan, di tempat saya ada yang sedang kosong.”
Keraguan sekarang ada di pihakku, mungkin salah dengar, atau salah maksud.
“Ya, Bu?” Wajahku serius.
“Di blok X sana, tempat saya, beberapa baru keluar, kalau Mas mau ngekos silakan lihat dulu.”
“Baik Bu, terimakasih.”
Si Ibu meneruskan perjalanannya, wajahnya terlihat lega. Anehnya, aku sama leganya. Lega karena pada akhirnya aku merasa Si Ibu tidak tahu bahwa aku tidak sedang butuh kos-kosan. Ibuukkk… *loudlycryingfaceemoji
Aku tidak sedih. (Kenapa juga sedih.) Hanya saja kepalaku penuh tanda tanya, setelahnya. Tersenyumsenyum sendiri, sambil mengibaskan kembali kemoceng. Sementara dari jauh, Pak Agus, tukang sayur gerobak langganan kompleks kita, memandangkangku curiga. (I’m fine, Gus, sehat, percayalah.)
Anakku,
Legaku juga karena kalau aku cocok untuk kemocengin mobil, aku juga rasanya pantas untuk duduk di belakang setirnya. Lega karena berpikir kalau kita satu hari bisa makan sepuasnya, kita juga bisa makan sekadarnya. Kalau kita senang makan di hotel berbintang, kita juga menikmati makan di atas aliran selokan hitam. Kalau kita mengidolakan keberhasilan, kita juga mensyukuri kegagalan. Kalau kita betah di awang-awang kemasyhuran, kita juga tidak meratap di lembah kesepian.
Siapa sih kita ini? Siapa sih kita-kita ini? (Jangan memandangku aneh seperti tatapan mata Pak Agus, I’m fine.) Aku cuma mau mengatakan, status-status dipasangkan ke dada dan kepala kita. Dan itulah yang kerap kali mengganggu dan membelenggu kita. Membahagiakan sekaligus menderitakan kita. (“Ketika kebahagiaan datang, saat yang sama sebenarnya kita sedang menderita, khawatir bahwa satu saat nanti kebahagiaan itu akan pergi.”) Ketika kita mengidentikkan diri dengan status, gelar, pangkat, jabatan, bahkan kondisi, ketika itulah kita membenamkan dan melekatkan diri ke bukan diri kita sendiri. Kita tidak menjadi diri sendiri. Padahal waktu (dan kematian) toh satu saat akan merenggutnya. Susah ya? Ya juga. Lalu harus bagaimana? “Lepaskan”.
“You are responsible for your own happiness. If you expect others to make you happy, chances are you’ll always end up disappointed.”
Others tidak melulu berarti orang dan orang lain, bisa juga diartikan materi atau status, atau segala yang di luar kita. Ya, padahal kebahagiaan asalnya ada di dalam diri kita. Terletak pada diri kita sendiri.
Begitu katanya.
Apa kabarmu, Nak? Siapakah kamu? Hahaha…
Yours,
Ayah
Ralat!
Aku,
Nicky Hogan