Dia menatapku. Dalam sekejap, bibirnya meraih bibirku. Dalam sekejap, dia menarik kembali wajahnya. Dan aku hanya terkesima. Hanya sanggup berkata, “Thank you”.
Dia lahir di negeri yang tak lagi mau diakuinya. Dia jatuh cinta dengan negeri ini. Menjadi bagian dari negeri ini. Dia menghubungkan kedua negeri dalam kesehariannya.
Pekerjaan menciptakan pertemuan kami. Dan kesibukan menambah keakraban kami. Tubuh tinggi Uighurnya, rambut ikal coklatnya, lesung pipit dalamnya, adalah penantianku.
Ketika kutanya apa kabarnya, saat kematian mendadak suaminya, “Sad”, jawabnya singkat untuk pertanyaan bodoh itu. Bodoh, dan tiba-tiba aku tidak mengerti batas antara senang dan sedih. Terkutuklah.
Pertemuan-pertemuan mendekatkan kami. Pesan-pesan di layar telephone bergerak ke dear dan love. Padahal dia pernah berucap, “We should not call each other love, until we have made love”, namun toh dia tetap menyapaku, begitu.
(Ibu memandang kedua mataku, dan mulai bercerita. Tentang seorang anak kecil yang mencintai kura-kuranya. Yang dibanggakannya sangat kepada teman-temannya. Suatu hari, sepulang sekolah dia menemukan kura-kuranya diam tak bergerak. Anak itu menangis sedih. Ayahnya menenangkannya dan berjanji akan mencarikan kura-kura baru sebagai penggantinya. Lalu menyuruh anak itu untuk mengubur kura-kuranya. Ketika tengah menggali tanah, dia melihat kura-kuranya mulai bergerak. Anak itu menggeleng, “Tidak, kau sudah mati. Kau harus mati.” Dan dia terus menggali tanah untuk mengubur kura-kura itu. “Nak,” ibu meraih tanganku, “apakah anak itu benar-benar mencintai kura-kuranya, ataukah sekadar rasa sensasi saja yang dia nikmati?”)
Aku menggeleng, tak tahu. Yang kutahu, kecupan itu adalah pertemuan terakhir kami. Sebelum kudengar dia ke Bali, dan tanpa kabar lagi. Sampai aku melihatnya di kamar itu. Malam itu.
(“Anakku,” ibu menggenggam jemariku, “dalam cerita itu, kau adalah kura-kura.”)
Jakarta, Februari 2019
NH
One thought on “IBU MUNGKIN BENAR (3/3)”