Mereka mengatakan aku menghilang. Aku tidak menghilang. Aku hilang.

“Mau kulukis?”

“Serius?”

“Aku jarang menawarkan ke orang. Biasanya terima orderan. Bisnis. Jadi, kalau sampai aku yang menawarkan, itu pasti dari dalam sini.”

Telapak tangan kirinya terbuka ditempelkan ke dada kanannya.

Aku tersenyum. Mungkin tersipu. Dia memperhatikan lesung pipitku. Matanya berbintang. Menjelajah ke kedalamannya. Mata yang seolah mencium lesung pipitku. Membesar, seperti mata pada lukisan barong raksasa di belakangnya.

Itulah kunjungan keduaku ke Bali. Seperti cerita kebanyakan orang, kunjungan ke pulau ini akan selalu meninggalkan cinta, yang setiap waktu akan memanggilmu untuk kembali. Seperti bangau yang terbang kembali ke sarangnya, seperti pengembara yang menanggung rindu redam akan kampung halamannya. Sebenarnya aku tak terlalu peduli cerita itu. Pertama kali menginjakkan kaki di pulau ini, dulu kami menghabiskan banyak waktu hanya di Nusa Dua. Suamiku dan, terutama, anak gadisku memang langsung suka, walaupun itu hanya liburan singkat akhir pekan. Aku? Tentu saja. Terutama ombak laut, dan deburnya. Yang kadang bergolak kencang laksana marah, kadang mengalun tenang merayu-rayu. Menakjubkanku. Entah kekuatan apa di kedalaman laut sana yang mengaturnya. Aku menghabiskan banyak waktu menatap menikmati laut di depan villa kami. Dadaku bergolak. Seluruh inderaku berada di tingkat tertinggi yang mampu diraih. Andai nenekku mengenal laut, mungkin dia akan percaya di kehidupan sebelumnya, aku adalah salah satu dewi laut. Aku memang jatuh cinta. Namun lebih karena hal-hal yang tak kutemui di tempat asalku dulu. Uighur.

Seumur hidup aku tak pernah melihat laut. Tidak mengenal ombak dan pantai. Kalian tahu asalku. Dan maafkan kalau kukatakan, aku tidak menyukainya. Udara dingin membuat masa kecil dan remajaku lebih banyak dihabiskan di dalam rumah. Bermain dengan saudara-saudaraku dalam permainan-permainan rumahan. Aku tidak suka keluar rumah, kecuali untuk sekolah dan hal-hal wajib lainnya. Musim dingin menyebalkan untukku. Saljunya hanya menambah kesombongan barisan pegunungan yang mengitari kota kecil kami. Pemandangan salju putih dimana-mana, yang katanya indah, rasanya tidak sepadan dengan hawa dingin yang dihembuskan menusuk hingga ke tulang. Terlalu sering aku menangis ketika dipaksa harus keluar rumah. Kulit pipiku serasa terbakar, dalam dingin menggigit. Tak ada lesung pipitku pada masa itu. Dingin adalah sebuah kutukan untuk dosa masa lalumu. Maka berbahagialah kamu yang lahir di khatulistiwa.

Udara dingin membuat manusia menjadi muram. Dingin, ditambah ketinggian tempat tinggal kami, membuat manusia menjadi lebih cepat keriput, lebih cepat tua, dan berumur pendek. Aku tak suka muram, aku mau cantik, dan selalu cantik. Bukankah kalian selalu mengatakan bahwa wanita bangsaku adalah wanita-wanita tercantik di dunia? Ya, aku mau cantik untuk waktu yang lama. Aku mau tetap cantik sampai saat terakhir memejamkan mataku, satu saat nanti.

Nenekku percaya karma. Saat umurku tigabelas, seminggu sebelum meninggal dunia, dia membelai rambut keriting coklatku dan berbisik lembut di telingaku bahwa banyak kebaikanku di masa lalu. Makanya aku tumbuh cantik dan akan bernasib baik. Ketika berumur duapuluh, aku dinikahkan oleh orang tuaku dengan seorang pengusaha keturunan Turki. Usianya nyaris dua kali lipat usiaku, tetapi tidak mengurangi cintaku kepadanya. Dan cintanya kepadaku. Memang, mana boleh usia membatasi cinta? Biarkan saja cinta bebas. Melintas usia, menembus tahun dan angka. Mengepakkan lebar sayapnya kemana saja. Melepaskan anak panahnya kemana dia suka. Karena ketika cinta dikekang, masihkan dia disebut cinta?

Usaha suamiku di Indonesia yang dirintis sebelum kami menikah, perlahan mulai berkembang, hingga suatu saat dia mengajakku berkunjung ke negeri ini. Pertama kali mendarat di Jakarta, selepas terbang jauh yang melelahkan, aku bersorak. Udara hangat, atau panas malah. Tetapi itulah yang kucari. Inilah surgaku, mimpiku. Inilah pelarianku. Aku mau negeri ini. Aku mau menetap di negeri ini.

Kunjungan berikutnya memang akhirnya menjadi kunjungan menetapku. Antusias meninggalkan kampung halamanku yang tinggi dan beku itu. Aku bersuka. Bahagia. Dan menghadiahi suamiku seorang bayi perempuan pada tahun pertamaku di sini. Aku ingin lebih lama di sini, menetap selamanya di sini, dan aku ingin mati di sini. Aku ingin mendapatkan kewarganegaraan. Aku mengambil kuliah malam di salah satu kampus di Jakarta Pusat, sambil membantu bisnis suamiku. Semua berjalan baik. Kewarganegaraan dan gelar sarjana, bisnis suami berjalan lancar, sementara anak gadisku beranjak sekolah dasar.

Namun kehidupan selalu cemburu dengan anak-anaknya. Hidup selalu mencintai anak-anaknya dengan cara yang aneh. Ketika kita sedang bahagia, dia akan mengintai dan bersiap sewaktu-waktu merenggutnya dari kita. Ketika kita bersedih, dia akan menyodorkan harapan-harapan yang seolah mudah untuk diraih. Dia menyukai roller coaster, dan menempatkan kita sebagai penumpangnya. Dia menikmati sorakan gembira kita sama seperti menikmati jerit ketakutan kita. Hanya dalam hitungan bulan, sejak terdiagnosa kanker stadium terakhir, suamiku meninggal dunia. Jenazahnya dikirim ke negara asalnya, dimakamkan di samping pemakaman ayah ibunya. Dan aku meneruskan bisnisnya, sembari menjadi ibu sekaligus ayah untuk anakku.

Kami kembali ke Bali. Aku dan anakku, kali ini, menghabiskan waktu di Ubud. Tidak lagi ke Nusa Dua. Walaupun aku sangat ingin mencium kembali wangi laut. Pantai dan pasirnya. Ombak dan mataharinya. Tapi kami butuh suasana baru. Dan di sanggar lukisnya yang asri, di antara pemukiman padat dan gang-gang kecil, aku mengenalnya. Aku menyukai lukisan-lukisannya. Wajah-wajah yang hidup. Mata-mata yang berbicara. Dan aku setuju untuk dilukis olehnya, pada kunjungan berikutku.

***

Aku memperhatikan lengan kanannya. Ada goresan gambar kecil menyerupai ekor turun di balik lengan kaosnya. Aku hanya bisa menerka-nerka, gambar tattoo apakah di baliknya. Sebesar apakah? Sampai menutupi dada dan punggungnya? Mungkin suatu hari nanti aku akan memohonnya untuk menunjukkannya. Nanti saja.

“Apa yang sedang kau pikirkan?”

Dia menyentuh punggung tanganku.

Sejenak aku memandangnya, melemparkan senyum. Dia menangkap lesung pipitku.

“Let’s go back. Yuk.”

Hari kedua di sanggarnya, kami hanya butuh sehari lagi untuk menyelesaikan sketsa wajahku. Kami putuskan meneruskan besok pagi, sebelum kukejar pesawat sore, membarengi jadwal mendarat anakku dari perjalanan kembali sekolah mereka dari Jogja. Aku mengajaknya ke pantai. Dan dia membawaku ke Kuta.

“Kamu harus ke Kuta, karena itulah Bali. Bukan Nusa Dua.” Dia meyakinkanku tadi dalam perjalanan berbonceng motornya. Hiruk pikuk menjelang matahari terbenam di pantai itu, tidak mengurangi nafas magis pantainya. Dia benar, aku mendapatkan suasana yang berbeda. Hanya saja cacat senjanya karena matahari tidak tenggelam bulat di garis horizon. Awan tebal menghalanginya. Mengacak-acak pendar jingganya yang terpantul di atas laut. Senja yang terkoyak, bagai cerita yang berakhir tak sempurna. Mungkin lain waktu, katanya. Ya, kalau ada lain waktu, bisikku.

Perjalanan kembali ke Ubud menembus sore yang sudah selesai. Aku memang memilih berbonceng sepeda motor, dibanding tawaran mobilnya tadi sore. Dan sekarang aku harus menanggung akibatnya. Malam yang mendung, dan titik-titik air mulai jatuh dari langit, mengetuk helm-helm kami. Perlahan, dan di jalan by pass, sudah menjadi gerimis tipis. Aku mengeratkan pelukanku di pinggangnya. Kurasakan tangannya menyentuh genggamanku. Selanjutnya kami terpental. Truk pasir yang melaju cepat di belakang telah melemparkan kami laksana lontaran trampoline menembus hujan. Aku melihat tubuhnya di bawah menghantam beton jembatan. Di atas sini aku melayang melewati pembatas jembatan. Dan aliran sungai deras di bawah jembatan menyambutku. Menyeretku kesana kemari. Menekanku dalam ke kekelaman. Aku merasakan kembali melayang. Namun kali ini lepas dari ragaku, yang hanya mampu memandang tubuhku mengalir mengikuti arus, ke laut. Laut yang kukagumi, akhirnya menyatu.

***

Malam itu aku duduk menghadap meja berkaca, menangis dalam diam. Aku ingin sekali bicara dengan pria yang sedang rebah ke kiri menghadap teras kaca itu. Tapi aku ragu, apakah kamu mengenali aku?

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.