Anakku,

Aku ingat Anthony de Mello. “Di negaramu dianggap mujizat kalau Tuhan melakukan kemauan orang, di negara kami dianggap mujizat kalau orang melakukan kehendak Allah.” Mungkin begitulah kondisi dunia kita saat ini. Banyak hal seolah terbolak-balik. Seperti juga halnya dengan berbuat baik. Bisa jadi bukan dianggap sebuah kebaikan. Akhirnya, berbuat baik tidak menjadi sesuatu yang mudah. Sungguh. Karena seolah selalu butuh jawaban untuk alasan berbuat baik, atau orang akan mempertanyakan kebaikanmu, dan bahkan mementahkannya. Berbuat baik karena hanya ingin berbuat baik bukanlah hal yang umum, bukanlah hal yang wajar, bukanlah hal yang manusiawi. Alamak!

“Entah kenapa, saya sedang sensitif.”

Lalu kita larut dalam dialog seperti cerita Larung-nya Ayu Utami.

“Tak apa. Kamu tak perlu senantiasa tegar.”

“Tapi saya tahu ini perkara bodoh.”

“Kecerdasan tidak selalu relevan.”

Anakku,

Selasa lalu, di acara peluncuran buku braille itu, begitu banyak kebaikan di balai di Cimahi sana. Orang-orang baik yang sejak awal membantu tanpa pamrih hanya karena ingin berbuat baik (aku mau selalu menjaga pikiran semacam itu), orang-orang yang bersusah payah datang (“Cimahi? Dimana sih itu?”), yang menunjukkan dan ingin turut larut dalam atmosfer kebaikan itu. Pagi itu, aura kebaikan menempel di dinding-dinding balai, mengisi rapat setiap sudut ruangan, berhembus bersama setiap kata yang terucap, dan terpancar dari setiap sorot mata, entah buta entah tidak. Mungkin itu pula yang membuatku beberapa kali terdiam sejenak di atas panggung, terisak dalam diam, berusaha mengendalikan emosi sebelum mampu melanjutkan bicaraku kembali. Kapan terakhir kamu di suasana penuh kebaikan seperti itu? Tidakkah jauh di dalam hati manusia selalu merindukannya? Rasanya aku tak ingin beranjak dari ruang itu, menjelang sore mengejar keretaku dalam guyuran hujan lebat yang turun sesaat. Kebaikan, oh kebaikan. Begitulah. Di luar sana, ada namun ditiadakan. Dirindukan sekaligus dipertanyakan.

Namun dunia beruntung memiliki seorang Bunda Teresa. Berbahagialah kita yang rajin membaca. Kalimat demi kalimatnya begitu meneduhkan, menyejukkan, menjaga semangat.

“If you are kind, people may accuse you of ulterior motives. Be kind anyway.

If you are honest, people may cheat you. Be honest anyway.

If you find happiness, people may be jealous. Be happy anyway.

The good you do today, maybe forgotten tomorrow. Do good. Give the world the best you have and it may never be enough. Give your best anyway.”

Indah, bukan? Aku bersyukur kalimat-kalimat itu bersemayam menjagaku, menghidupiku. Walaupun hari-hari ini, entah kenapa aku merasa lelah. Seperti bisik Bendoro kepada Mas Nganten, si Gadis Pantai, “Aku terlalu lelah. Buatlah aku bermimpi tanpa tidur.”

Argh, tidak, aku ingin tidur dan juga ingin bermimpi. Mungkin memimpikan Bunda yang tengah memelukku erat dan membisikkan lembut kalimat-kalimat itu.

“Bagaimanapun berbaikhatilah, Nak.”

Ayah

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.