“Terimakasih kepada terik panas matahari. Yang karenanya, bayang rindang pohon adalah potongan surga di bawah kaki.

Terimakasih kepada gelap kelam malam. Yang karenanya, ribuan cahaya bintang adalah lukisan surga di atas kepala.”

Pada awalnya, menjadi pelari relay kedua Lintas Sumbawa 320K 1-4 Mei 2019, menakutkanku. Bukan karena tanjakan dan turunan yang katanya lebih berat dari lintasan 160K pertama, tetapi jadwal waktu startnya yang jam 11 malam, untuk jatah waktu 32 jam, berarti akan dua kali bermalam di jalan. Aku menyadari kelemahanku untuk urusan tidur, dan hanya berharap bisa melek terus selama 32 jam. Hal yang hampir pasti mustahil.

Bersyukur partner relayku, Fredy, menyelesaikan tugasnya sekitar 30 jam, berarti aku sudah bisa mulai start pukul 9 malam, dari Desa Usar, Plampang. (Di usia kami, tentu saja sulit mengimbangi para pelari muda juara yang jauh lebih cepat, yang finishnya jauh lebih sore. Kami, pelari master -gaek- bisa menyelesaikan lomba saja sudah sebuah kebahagiaan besar. “How do you want to live the rest of your life? And running is the answer to that crucial question.”)

Menembus malam, berlari sepanjang pesisir pantai yang hanya menyisakan lampu-lampu kecil kapal di kejauhan. Jalan aspal licin gelap tanpa lampu jalanan, hanya diterangi oleh senter kepala. Berhenti di setiap water station per 10K untuk mengisi minum dan sesekali melahap snack, serta mengganti kaos basah di check point KM200, Dusun Mama, Lanuan Jambu.

Terus melanjutkan. Berlari dan berjalan cepat. Langit masih kelam pekat. Ribuan bintang di atas sana, mempesona. Lukisan surga. Keheningan. Sukacita dalam diam. Aku. Di sini.

For those active in mind and heart and body, the child and the poet, the saint and the athlete, the time is always now. They are eternally present.

Ketika matahari mulai mengganti peran malam, inilah “hari yang ditunggu”. Panas pagi yang menggigit, perlahan-lahan membakar kulit. Matahari terus bergerak, hingga ke atas kepala. Lintasan naik turun. (“Guide book: It’s a 40K of uphill, if you can’t run, walk”. Baiklah. Pastinya.) Menjelang tengah hari, check point KM240, Jalur Sumbawa- Bima. Setengah perjalanan ditempuh sudah. Kembali mengganti kaos basah, dan kaos kaki. Sejauh ini hanya beberapa asupan berupa bubur kacang hijau, energen, roti, snack bar. (Seperti biasa, tidak berselera yang lebih berat dari itu.)

Melanjutkan 40K ketiga, dalam panas terik, kedua mata selalu mencari-cari pohon. Bayangannya adalah oase berteduh selintas. Sebatang saja pohon di antara hamparan rumput luas, sudah cukup membuat hati bersorak. Dan, sekali lagi, lintasannya naik turun. (“Guide book: Another 40K of uphill, if you can’t walk, crawl”. Penyusunnya jahad!) Dalam sengat panas yang menyiksa dan lelah, kelopak mata mulai terasa berat. Berjalan mulai limbung. Pun berlari. Klakson beberapa kendaraan yang melintas mulai memperingatkanku.

Memasuki daerah pemukiman, aku tahu percuma melanjutkan perjalanan dengan mata terpejam. Dan berbahaya. Saatnya tidur, Kawan.

“Mbak, izin beristirahat di balai-balainya boleh?”

“Silakan.” Dan tak lama mBak telah kembali dengan sebuah guling. Aku menggeleng perlahan. Bukan menolak, hanya takjub tak menyangka.

“Terimakasih. Boleh tolong bangunkan saya limabelas menit, mBak?”

“Ya” dan sebuah anggukan.

I write because the thoughts instead have to be put in more visible form. I run because it’s inside pushing to get out.

Sore mulai berganti malam di water station KM260, menempuh tanjakan panjang tak berujung, dan malam jatuh kembali ketika memasuki check point KM280, Jalur Doro Nchanga. Tidak banyak waktu untuk beristirahat, karena harus mengejar batas cut off time. Tidak juga mengganti kaos basah, perjalanan harus dilanjutkan, 40K terakhir.

Sekali lagi kembali mengarungi malam. Malam yang sempurna. Langit gelap kelam. Bintang betaburan. Jalan lurus naik turun panjang, hitam pekat. Padang savana bisu. Hening. Suara angin. Suara binatang malam. Aku. Di sini. Sendiri.

A lonely figure on a lonely road, he seems to have no past, no future, and to be living in a present that has no rational meaning.”

Aku seolah melihat spanduk event, nyatanya jembatan. Aku seolah melihat tanda lampu panitia, padahal tak ada. Aku melihat lampu-lampu yang bergerak di depanku, menemaniku…

I was seeking a new world, where I could live and create my own drama, and not play with the meaning of life. I found it in running.

Pada akhirnya, kalau semula dua malam itu menakutkanku, seperti juga lampu-lampu itu, saatnya aku berpikir aku seharusnya berbahagia. Dua malam, dalam lukisan langit gelap betabur bintang, bumi kelam dalam sunyi angin dan binatang malam. Aku hadir. Di sini.

Most of us would give up the reality of today for the memory of yesterday or the fantasy of tomorrow. We desire to live anywhere but in the present.

(Kutipan-kutipan diambil dari “Running & Being ~ DR. George Sheehan”)

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

8 replies on “SATU HARI DUA MALAM

  1. Foto finish-nya koq tumben kalem (baca : lemesh), ga seperti biasanya?

    Btw congratulations NH for successfully completing a 160k ultra marathon…very impressive!

    Like

  2. Menyusuri jalan baru yang panjang berliku, dengan segala keindahan alam beserta kerikil dan perdu, demi mencapai sebuah kemenangan dan kemerdekaan.
    Kami bangga pada bapak. 👍👍👍👍

    Like

Leave a Reply to pelarisantai Cancel reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.