Anakku,
Apa kabarmu? Bagaimana nasib kesebelasan favoritmu?
Kalau aku sebenarnya lebih berharap Liverpool juara. Aku jatuh cinta dengan You’ll Never Walk Alone, membayangkan lagu itu dinyanyikan massal, membahana di Stadion Anfield, pasti membuatku merinding. Mudahmudahan satu hari nanti aku berkesempatan berada di tengahtengah lagu itu di sana. Semoga. Tetapi Manchester City juara pun tidak terlalu mengecewakanku. Maklumlah, kesebelasan manapun dengan pemain Brazil di dalamnya selalu memikatku. Kebetulan keduanya, Liverpool dan Manchester City diperkuat beberapa pemain Brazil. Apa boleh buat, Brazil dan para pemainnya, dimanapun, selalu menjadikanku fans beratnya. Brazil, oh Brazil.
Liverpool. Walaupun tidak juara, namun mendapatkan pujian selangit. Dengan nilai akhir 97, plus hanya kalah sekali sepanjang musim, menjadikan mereka tercatat dalam buku rekor sepakbola Eropa. Tidak ada kesebelasan di benua itu yang pernah mencatat capaian setinggi dan sebaik itu, tetapi gagal juara. Begitulah sepakbola, katanya kejam. Tetapi sebenarnya Nak, kehidupan bisa lebih kejam. Sepakbola masih kalah kejam.
Bagaimanapun, Liverpool masih tercatat sebagai runner up, dengan puja puji dan rekor fantastis tadi. Istilahnya masih mendapatkan medali perak, seperti halnya para juara kedua di cabang olah raga lainnya, kan? Masih bisa berdiri di atas podium juara, dengan kalungan medali perak dan bouquet bunga.
Anakku,
Dalam kehidupan, adakah “medali perak dan bouquet bunga” untuk “juara kedua”?
Aku selalu ingat salah satu mentor marketing panutanku. Setiap kali briefing teamnya, dia selalu mengingatkan dan menekankan bahwa dalam dunia pemasaran (dan bisnis), tidak ada yang namanya juara kedua. Either juara satu (baca: dapat order, dapat proyek), atau tidak sama sekali. Tidak berlaku medali perak atau perunggu karena nyaris dapat order atau proyek. Hal sama berlaku juga untuk, misalnya, urusan tender-tender yang hanya memilih satu pemenangnya. Sisanya? Yang kalah, gigit jari. Kejam kan?
Atau kisah seorang wanita yang akan memilih pasangan hidupnya dari sekian banyak pria pengejarnya. Tentu saja yang tidak terpilih tidak lantas berbesar hati atau tetap bangga, hanya karena nyaris terpilih. (“Gua hampir terpilih, lho.” *sambil menepuk dada. Uhuk!) Tidak berlaku medali-medalian. Terpilih atau tercampakkan. Lebih kejam lagi kan?
Anakku,
Padahal di surat ini, aku mau menulis sesuatu yang lain. Bukan soal Liga Premier atau urusan medali kehidupan dan medali percintaan di atas. Aku mau menulis soal integritas. Integrity.
in·teg·ri·ty
/inˈteɡrədē/
the quality of being honest and having strong moral principles; moral uprightness.
Hanya saja pembukaannya sudah terlalu panjang, hahaha, nanti aku sambung di surat berikutnya saja ya.
Die-Harder Brazil,
Ayah