Rodriquez melepas sweater abu-abunya. Juga kaosnya. Telanjang dada. Beberapa tattoo buram tanpa warna terserak di sana. Bukan tattoo indah dan artistik yang dibuat di boutique tattoo. (Mungkin dibuat di jaman pemberontakan dulu.) Tattoo. Untuk sebagian orang mungkin dianggap menjijikkan, namun untuk sebagian yang lain, terutama untuk pemiliknya, tentu saja, adalah sebuah tanda seni. Dan kebanggaan. Bangga karena memiliki rajah di tubuhnya, dan juga bangga atas satu keputusan kekal yang telah diambil, membiarkannya menemaninya seumur hidupnya. Dan Rodriquez mengerti itu. Dia tampak tidak canggung sedikitpun melepas kaosnya di tengah-tengah keramaian itu, siang itu, di taman itu.

Piccadilly Garden. Deretan puluhan air mancur di lingkaran bulat tengahnya yang menyembur naik turun dari lantai, yang sebentar kemudian reda tiarap, memberi waktu kepada seorang anak berlari riang melintas, sebelum air memancur kembali. Kepada seorang remaja di kursi rodanya yang tertawa lepas didorong temannya, dalam sorot mata seorang ibu yang menatap lurus, menggenggam tangan anak remajanya yang down syndrome, yang duduk terpana di sebelahnya. Yang memberikan kesempatan kepada para pengunjungnya untuk saling memperhatikan dan memandang dari seberang ke seberang, sebelum dikaburkan kembali oleh semburan air dan waktu. Burung-burung merpati yang terbang kesana kemari, bergerombol mengerubuti seorang lelaki tua yang tengah menabur remah-remah roti, yang mungkin sengaja dibawanya dari tempat tinggalnya. Di belakangnya, di atas rumput hijau, anak-anak kecil bersorak dari papan pelosotan, dalam pandangan teduh patung seorang ibu muda cantik setengah telanjang, menggendong kedua bayinya yang lelap di lengannya. Satu dua gelandangan yang tidak berhenti mengemis kebaikan hati orang-orang lalu lalang, berharap koin-koin disodorkan. Ataupun dilemparkan. Pengunjung-pengunjung lainnya, dalam balutan kemeja berdasi dan jas hitam atau yang berjaket, berstocking dengan rambut warnawarni, mengunyah burger dan sandwich, menyendok dari kotak-kotak karton, meneguk minuman soda dingin dan kopi hangat, menyalakan batang-batang rokok. Asap-asap tebal dari vape disemburkan, terbang perlahan menyatu dengan langit mendung tipis kelabu.

Merapikan rambut panjang sebahunya yang berantakan, membiarkan beberapa bagian tergerai di pundaknya yang ringkih dan dadanya yang bidang, Rodriquez bersiap difoto, dengan latar belakang air mancur. Empat jepretan selesai dan pria bertinggi seratus enam puluhan sentimeter itu memakai kembali kaosnya. Terlihat di sana tulisan “Fretilin”, lengkap dengan gambar benderanya, merah kuning hitam dan sebuah bintang putih.

“Ya, saya dari Timor Leste. Lahir di sana, tetapi sekarang sudah menjadi warga negara Portugis. Sudah delapan tahun tinggal di Inggris, bekerja di restoran makanan Melayu milik seorang Malaysia, sebagai waiter. Yang memberikan waktu cuti satu hari setiap minggunya. Saya tidak punya keluarga di sini, hanya sendiri, sudah bercerai dan anak perempuan saya ikut ibunya. Keluarga saya, ayah dan ibu masih tinggal di Timor Leste. Kalau ada uang, saya mau tengok, tetapi penghasilan saya tidak besar, tidak cukup. Mungkin satu saat nanti.”

Rodriquez mengenakan kembali sweater abu-abunya. Mengepalkan tangan, memberikan salam tinju, tanda perpisahan, berjalan bergegas menembus keramaian tenda-tenda penjual makanan. Meninggalkan gerimis bulan Juni yang perlahan mulai menitik.

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.