Matahari baru saja melontarkan cahaya pertamanya. Segaris merah jingga melesat menghujam sebatang pohon edelweis. Embun-embun di pucuknya berpendar. Kabut masih menari lembut bak ballerina dalam hembus sepoi angin pagi, enggan meninggalkan bunga-bunga yang baru bermekaran. Fei mematung dari pinggir tenda yang baru saja dibuka resletingnya. Beberapa butir embun mengalir jatuh dari atap tenda, menyentuh rambut dan hidungnya. Fei menarik napas dalam-dalam, mengisi seluruh rongga dadanya. Mata, kepala dan dadanya bersorak keras mendapatkan kembali pemandangan di luar tenda. Rasanya sudah lama, lama sekali, dia tidak di sisi dunia yang ini. Bertahun-tahun hanya dalam kungkungan beton dan baja, diperbudak kertas dan komputer, dibodohi etika palsu dan wajah-wajah hipokrit. Dulu bahkan pernah dia berpikir kalaulah satu saat dia mati, dia ingin mati di lembah ini. Atau mati pada saat pendakianpun, tidak apa-apa.

Fei menengok ke belakang, ke dalam tenda. Perempuan itu masih lelap dalam sleeping bag. Matanya yang terpejam menyembunyikan bola matanya yang hitam dominan. Damai wajahnya membuat Fei tidak mampu membedakan mana yang lebih indah, di luar sana atau di dalam sini. Fei merasa begitu beruntung dikelilingi keindahan pagi itu. Dia percaya, selalu percaya, surga itu letaknya di bumi. Paling tidak di lembah Surya Kencana ini. Saat ini.

Tadi malam, setelah makan mie instant rebus, menyeruput teh panas yang diseduh Fei, mereka duduk di depan tenda, beralas matras. Angin dingin berbaik hati tidak membuat menggigil. Bulan tidak bulat sempurna, Fei malah merasa bentuknya lebih mirip hati. Namun terangnya cukup untuk membuat bintang-bintang berkedip. Ribuan, mungkin juga jutaan. Selalu ada yang lebih terang atau lebih besar. Fei tidak pintar astronomi, jadi tidak banyak bercerita. Atau mereka memang tidak banyak berbicara, hanya memandang langit, bintang, bulan. Menghirup angin dingin, bau rumput dan tanah.

“Kamu tahu arti namaku?” Perempuan itu menatap Fei, lekat dalam bola matanya yang hitam dominan.

Fei belum lagi sempat menjawab, perempuan itu sudah melanjutkan, “Diamond in the sky.”

Dia memandang kembali ke langit. Fei mengikuti, dan dia melihat ribuan berlian di atas sana.

“Pak Fei…”

Fei membuka matanya. Memandang langit-langit, mencari-cari kelinci.

***

Fei tidak suka dengan stigma ekstrovert dan introvert, seolah-olah kaum ekstrovert adalah superior pemilik dunia yang gaul, friendly, luwes, sedangkan dia masuk kelompok introvert yang hanya punya dunia seluas satu kubikal berisi meja dan kursi, kaum kaku, suku terasing dan tertutup. Pekerjaannya di bidang akuntansi dan pajak menjauhkannya dari teman-teman sekantornya di bidang pemasaran yang penuh lobbying dan clubbing.

Fei mensyukuri kemajuan tekhnologi yang membuka dunianya tanpa batas, yang menurutnya telah mensejajarkan setiap orang, sekalipun hanya melalui jari-jari tangan dan layar monitor. Dia punya akun di facebook, instagram dan twitters dengan segelintir friends dan followers, hanya untuk mengintip dunia. (Yang sebagian di antaranya ditinggalkannya selama masa pilpres terakhir, terlalu menjijikkan. Fei bukan kalong dan bukan berudu, dia golput tulen.) Dia bisa menonton film baru dan live streaming sepakbola, menyaksikan cuplikan Got Talent show yang mencengangkan dan mengharukan, mendengarkan dan mengunduh lagu berbagai artis berbagai genre berbagai jaman, berselancar ke belahan dunia manapun, berkunjung ke situs sejarah dan situs porno, dan mencari tahu apa saja. Termasuk mencari tahu, “diamond in the sky”.

Pencariannya bermuara pada istilah ataupun nama-nama berikut. Rihanna, Marilyn, Kylie, Lottie, Pink Floyd, Shirley, Enya, Lucy, Kya. Kalaulah hidup hanya sekali, dan waktu seperti air sungai yang mengalir, maka sebenarnya kesempatan hanya ada satu kali, tidak dua atau tiga kali, karena semesta dan momentum tidak pernah sama, selalu berubah-ubah. Beberapa nama dicoretnya, dan Fei akan mulai dengan nama terakhir. Nama yang menarik untuknya. Entah kenapa.

NH

Posted by:Nicky Hogan

Nicky menjalani hidup limapuluh tahun, gemar berlari empatpuluh tahun, merambah alam tigapuluh tahun, bekerja di pasar modal duapuluh tahun, suka menulis sepuluh tahun. Dan inilah tulisannya.

5 replies on “DIAMOND IN THE SKY (4/5)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.